Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pada 16 Desember 2021, genap 52 tahun Gunung Semeru merenggut nyawa Shoe Hok Gie -aktivis mahasiswa dan legenda pendakian Gunung Semeru- dalam pendakian 16 Desember 1969. Eksotiknya danau Ranu Kumbolo dan puncak Mahameru memang menyimpan keindahan sekaligus potensi bencana guguran lava yang luar biasa dari Gunung Semeru.

Saat bencana Gunung Semeru 4 Desember 2021, banyak pihak mempertanyakan sistem peringatan dini; termasuk Bali Post (6/12). Sementara pihak Badan Geologi Kementerian ESDM melalui PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) sudah memberi notifikasi potensi bencana di Gunung Semeru kepada berbagai pihak terkait, pada 1 Desember 2021.

Situasi tersebut mungkin bisa dijelaskan dengan pendapat dari pakar vulkanologi Surono atau yang lebih dikenal dengan panggilan mBah Rono. Beliau berpendapat bahwa dalam peristiwa bencana Gunung Semeru pada Sabtu sore 4 Desember 2021, tidak terjadi erupsi Gunung Semeru. Yang terjadi adalah awan panas guguran (APG) bervolume sangat besar.

Baca juga:  Erupsi Aktivitas Gunung Semeru Dominasi Perbatasan Lumajang dan Malang

Sehingga benar bahwa Gunung Semeru berada dalam level 2 (waspada) secara vulkanologi. Mengingat secara vulkanologi semua alat seismograf mencatat tidak ada gerakan magma luar biasa yang bisa berpotensi menaikkan level status vulkanologi Gunung Semeru. Secara data seismograf, vulkanologi Gunung Semeru masih di level 2.

Karakteristik Gunung Semeru memang berbeda dengan sekitar 120an gunung api aktif yang ada di Indonesia. Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3676 mdpl (meter di atas permukaan laut), termasuk gunung api yang terus tumbuh ketinggiannya. Hal ini dipicu karakteristik erupsinya yang relatif kecil.

Lontaran pasir dan abu vulkanik akibat erupsi Gunung Semeru selalu hanya jatuh di seputaran puncak gunung dan membentuk kubah lava. Bencana yang ditimbulkan oleh Gunung Semeru selalu karena gugurnya kubah lava sehingga tercipta APG maupun terjadi banjir lahar dingin. Biasanya hal ini dipicu karena terjadinya hujan deras di puncak Gunung Semeru.

Baca juga:  Mengajegkan Peradaban Adat dan Budaya Bali

Ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari bencana Gunung Semeru di wilayah Lumajang pada 4 Desember 2021. Yaitu kepatuhan kita membangun hunian yang harus sesuai ketentuan tata ruang wilayah yang ada. Korban yang jatuh dalam bencana Semeru adalah mereka yang berada/menghuni dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) Semeru. Peta KRB telah disiapkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun banyak pihak yang mengabaikan tatanan ruang yang sudah disesuaikan dengan karakteristik Semeru. Banyak hunian yang dibangun di dalam KRB. Akibatnya selalu berulang terjadinya jatuh korban meninggal maupun luka.

Peta KRB merupakan upaya tata ruang dalam menyikapi karakteristik bencana yang berbeda-beda pada berbagai wilayah. Kecepatan APG yang mencapai 300an km/jam jelas tidak mungkin akan dapat kita hindari. Sementara banjir lahar dingin masih mungkin kita hindari dengan peralatan berteknologi, karena kecepatannya berkisar puluhan km/jam. Namun harus kita sadari bahwa segala jenis teknologi peralatan dan perangkat infrastruktur deteksi dini atas terjadinya bencana alam, hanyalah 1/4 bagian dalam kesiapan kita menghadapi bencana alam yang tidak dapat kita prediksi. 3/4 bagian lainnya adalah budaya masyarakat itu sendiri dalam melakukan mitigasi terhadap bencana alam.

Baca juga:  Pembatasan Kegiatan Masyarakat

Siapkah Bali menghadapi kemungkinan terjadinya bencana erupsi gunung api di Kawasan Rawan Bencana Bali. Kita tidak berharap bencana itu terjadi. Namun harus kita sadari bahwa Bali juga berada di wilayah rawan bencana alam. Realitas kondisi ini harus menjadi catatan krama Bali guna kesiapsiagaan menghadapi bencana alam yang dapat datang kapan saja.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *