Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H.,M.Kn

Kalau diamati kemajuan penanganan Covid-19 di Indonesia, dan Bali khususnya, rupanya setiap ada kerumunan seperti hari raya atau kegiatan adat, maka akan diikuti oleh melonjaknya kasus terpapar Covid-19. Pemerintah menyadari hal itu.

Oleh karena itu, penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terus diperpanjang. Dan hasilnya sudah semakin turun yang terpapar Covid-19, dan  jumlah kematian juga semakin menurun. Harapannya adalah paparannya bisa mencapai titik nol atau zona hijau.

Untuk mencapai zona hijau tersebut, kiranya perlu mensinergikan pelaksanaan sistem hukum. Selama ini, sistem hukum sudah berjalan, tetapi sangat lambat. Bahkan pernah mandek pada awal-awal pandemi karena terkendala oleh perlawanan salah satu unsur sistem hukum yaitu masyarakat yang kurang paham.

Berbicara masalah sistem hukum, tidak terlepas dari Lawrence M. Friedman yang menjelaskan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 unsur komponen. Ketiga komponen tersebut harus bergerak secara serasi dan sinergi untuk mencapai hasil yang baik. Tiga unsur tersebut adalah : 1. Struktur hukum yaitu para pembuat kebijakan, pembuat undang-undang, peraturan dan sebagainya. Para penegak hukum dan lembaga hukum. 2. Substansi atau norma hukum yang berupa hukum positif maupun norma hukum yang hidup dalam masyarakat. 3.Budaya hukum yaitu peran masyarakat yang meliputi rakyat, tokoh, elit dan para pejabat.  Sikap masyarakat sangat berpengaruh disini. Apakah masyarakat selalu  tidak acuh atau pejabatnya kurang tanggap dan sebagainya.

Baca juga:  Sugihan : Tangi-Sugi-Suci

Melihat kenyataan yang ada, rupanya unsur ketiga yaitu unsur budaya hukum yang masih lemah dalam penanganan Covid-19 selama ini, yaitu mereka yang abai terhadap protokol kesehatan.  Masyarakat menganggap Covid-19 ini tidak berbahaya, walaupun telah banyak korban. Yang menganggap Covid-19 ini tidak berbahaya terutama yang merasa dirinya sehat, terutama anak-anak muda. Mereka tidak menyadari bahwa tubuh yang nampak sehat dari luar itu bisa sebagai orang yang tanpa gejala (OTG). Sebab bisa saja orang yang terpapar Covid-19  hasil pemeriksaannya negatif, tetapi sebenarnya sudah tertular. Dan orang semacam inilah bisa menularkan kepada orang lain yang bersifat rentan.

Baca juga:  Sistem Zonasi Butuh Pemerataan Tenaga Pendidik

Dari segi tokoh, misalnya para elit, tokoh masyarakat dan pejabat kenyataannya  ada yang tidak memberikan contoh yang baik, misalnya pejabat menolak untuk diperiksa oleh petugas kesehatan. Kenyataan-kenyataan inilah akan ditiru oleh masyarakat. Tokoh seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat. Mereka akan segan kepada pejabat yang mau taat kepada aturan.

Demikian juga, otoritas setempat yang telah mengeluarkan berbagai edaran untuk mengatur kegiatan masyarakat, yang intinya untuk mencegah kerumunan. Apakah para pejabat yang telah mengeluarkan aturan itu sudah turun ke bawah, untuk check and recheck terhadap kebijakannya telah berjalan atau belum. Dalam hal ini pemerintah telah mengeluarkan aturan setiap kegiatan masyarakat hanya dihadiri oleh jumlah orang tertentu. Kalau masyarakat melanggar ketentuan itu, hendaknya diadakan evaluasi.

Baca juga:  Preservasi "Heritage" dalam Perubahan Iklim

Apakah perlu edukasi kepada masyarakat atau dicari cara-cara lain agar protokol kesehatan bisa ditaati. Di lain pihak, para pengawas di lapangan tidak perlu ewuh pakewuh dalam penerapan aturan. Dengan penerapan manusiawi pasti bisa jalan, agar dipersiapkan dengan baik. Misalnya setiap kegiatan telah dikoordinasikan sebelumnya bahwa kegiatan hanya boleh dihadiri oleh sekian orang, dengan harapan tidak akan terjadi pelanggaran.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *