Timo Teweng. (BP/Istimewa)

Oleh Timo Teweng

Penyair Lebanon Kahlil Gibran dalam bukunya berjudul “Sang Nabi”, berkata sebagai berikut: “Anakmu bukan milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu. Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya.”

Nah, seorang anak bagi orangtuanya adalah harapan dan tumpuan masa depan mereka. Kepadanyalah mereka mendambakan hari esok yang lebih baik, masa depan yang cerah. Kepadanyalah pula ia wariskan berbagai keutamaan, nilai, bahkan harta benda.

Sayangnya, seorang anak terkadang harus mengalami nasib yang jauh berbeda dari hakikatnya sebagai seorang pribadi yang independen. Orangtuanya terkadang lebih mengutamakan kehendak dan kemauannya daripada keinginan dan kemauan anaknya.

Segalanya diatur dan ditentukan orangtuanya; mulai dari urusan memilih sekolah, memilih jurusan, pekerjaan, bahkan sampai kepada urusan pasangan hidupnya alias jodoh. Anak-anak dengan pola pendidikan seperti ini akan sulit berkembang secara maksimal. Setiap orangtua rupanya memiliki cara dan pandangan tersendiri dalam mendidik anak-anak mereka. Ada yang mendidik dengan gaya otoriter-feodal, ada pula yang demokratis.

Baca juga:  Pandemi Covid-19 Bukan Halangan Berkreasi

Pendidikan anak dalam keluarga tidak saja berdampak pada anak itu sendiri, tetapi dalam interaksinya dengan orang lain, terutama lingkungan di mana ia berada. Pengaruh pendidikan dalam keluarga berdampak secara langsung dalam lingkup sosial anak.

Pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial merupakan lingkungan yang memungkinkan anak bertumbuh dan menemukan dirinya. Kalau kita cermati, ada perbedaan yang cukup menyolok antara pendidikan anak tempo dulu dengan sekarang ini. Dulu, orangtua cenderung bersikap layaknya komandan pasukan yang mengharuskan anak patuh tanpa syarat. Anak-anak harus tunduk pada keinginan dan kemauan orang tua alias “AKOT” (apa kata orang tua).

Setiap perubahan tentunya dilatarbelakangi tujuan yang baik. Perubahan ini bisa jadi disebabkan karena banyak orangtua yang tidak ingin menerapkan pola hubungan orang tua—anak yang serupa dengan orang tuanya di kala mereka kecil.

Baca juga:  Meditasi

Pola komunikasi yang terbuka dan bisa berbicara dengan anak dari hati ke hati lebih diusahakan sehingga anak pun merasa lebih nyaman. Meski belum diketahui dengan pasti persentase orangtua yang sudah memulai perubahan tersebut, namun hal ini menunjukkan hal yang baik. Beberapa orang mengalami, kehidupan keluarga yang demokratis tidak saja memberi perasaan nyaman tapi juga menumbuhkan sikap lainnya.

Di samping itu, banyak orangtua yang mengatakan bahwa mereka berharap dapat menjadi teman atau sahabat bagi anaknya. Sebenarnya tidak ada yang salah dari hal ini, namun bila kebablasan akan menjadi bumerang. Seharusnya setiap orangtua tetap menunjukkan perannya sebagai orangtua dengan adanya peraturan dan bimbingan yang memadai bagi anak.

Setiap peraturan yang dibuat dapat dikomunikasikan kepada anak dengan memberi penjelasan tentang baik-buruknya. Kadang cara memberi larangan dari orang tua kepada anak dapat berpengaruh secara signifikan. Misalnya, bila anak ingin bermain keluar di saat tidur siang, cobalah menghindari kata “tidak” dan diganti dengan kalimat “ya boleh, tetapi nanti setelah tidur siang”.

Baca juga:  Lima Tahun Dipelihara, Buaya ''Kroto'' Diserahkan ke BKSDA Bali

Meski terdengar sepele, namun seorang anak tidak akan merasa terus-menerus mendapat penolakan dengan kata “tidak” sehingga lebih dapat menerima dengan baik serta mematuhinya. Kiranya, sekolah dan rumah tidak hanya dijadikan sebagai tempat pendidikan formal dan nonformal, tetapi lebih dari itu dijadikan sebagai tempat menanamkan nilai-nilai: kejujuran, kedisplinan, rasa tanggungjawab, etos kerja, toleransi, solidaritas, karitatif, humanisme, dan demokrasi, serta nilai-nilai keimanan mereka.

Setiap orangtua hendaknya dapat mempertanggungjawabkan masa depan anak-anaknya kepada Sang Pemilik-nya, yaitu Tuhan sendiri. “Anakmu bukan milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup (Tuhan) yang rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, Peminat Hidup Spiritual dan Guru Honorer; tinggal di Jember, Jawa Timur

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *