Warga Tangkas saat bertemu dengan pihak BPN di Kantor BPN Klungkung. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Sebanyak 12 orang warga Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, mendatangi Kantor BPN Klungkung, Selasa (23/2). Warga ini merupakan pemilik tanah yang memperoleh ganti rugi lahan yang dipakai Kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di eks galian C Klungkung.

Mereka mempertanyakan adanya potongan sebesar 18 persen dari nilai ganti rugi lahan senilai Rp 26,5 juta per are. Bahkan, warga mengajak seorang pengacara, Jonhy Rewoe, S.H.

Kedatangan mereka diterima pihak BPN Klungkung, diwakili Kasi Penataan dan Pengukuran Kanwil BPN Bali Made Herman dan Tim BPN Kanwil Renon serta BPN Klungkung. Salah satu pemilik tanah Ketut Sujana, menyatakan warga sejatinya mendukung sepenuhnya program pembangunan Kawasan PKB di eks Galian C.

Namun, alasan adanya pemotongan 18 persen dana ganti rugi, sehingga membuat mereka harus mempertanyakannya. “Di subak yang lain, seperti di Subak Gunaksa, Sampalan Dlod Margi dan Jumpai tidak ada pemotongan. Lalu kenapa di Subak Pegoncangan dan Subak Tangkas dikenakan pemotongan. Kenapa tidak ada perlakuan hukum yang sama?” kata Sujana.

Baca juga:  Perataan Lahan di Jalur Hijau di Rambut Siwi Tanpa Izin

Pada saat pembangunan Dermaga Gunaksa tahun 2010, ketika ada pembebasan lahan, saat itu menurutnya tidak ada pemotongan. Demikian juga tahun 2014, juga ada pembebasan lahan untuk pembangunan Bypass Tohpati-Kusamba, juga tidak ada pemotongan.

Selain itu, dia juga mempertanyakan adanya permohonan pada tanah negara di Blok 10, tiba-tiba langsung keluar sertifikat tanpa ada pengurangan. Setelah bertemu BPN, Sujana mengaku tak puas dengan jawabannya.

Saat pertemuan, dikatakan alasan pemotongan itu, hanya karena tanahnya berada pada alur sungai, karena saat pengukuran bisa terjadi pengurangan, dan hal-hal lainnya yang terjadi saat pemetaan lokasi (penlok), seperti adanya banyak permohonan, atau pun tanahnya kurang. Sementara, Sujana meminta ini agar bisa dibuka seterang-terangnya.

Baca juga:  Tujuh Mahasiswa dan Pelajar Jadi Tersangka Pengeroyokan di Bazaar

Terutama, apa dasar hukumnya melakukan pemotongan 18 persen. “Namun, pada akhirnya kami diberikan ruang untuk negosiasi, guna menunjukkan batas-batas dan pendamping yang ada,” katanya.

Pihak pengacara Johny Rewoe menambahkan, dengan alasan pihak BPN, ia meminta bukti hukumnya. Sehingga ini semua menjadi lebih jelas.

Setelah pertemuan ini, Johny mengatakan berkembang informasi bahwa awal mula adanya pemotongan 18 persen ini, karena pada tahun 2018 ada permohonan sertifikat program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap).

Kemudian ada pertemuan antara pihak BPN, Desa Tangkas dan warga Tangkas. Saat itu, muncul opsi pemotongan 48 persen karena melihat kondisi tanah sebagaimana dipaparkan sebelumnya. “Saat itu warga Tangkas menolak. Trus berkembang sampai titik 18 persen. Namun, ini pun masih pro kontra. Karena tujuan untuk apa dan kepada siapa pemotongan ini, juga tidak jelas,” tegasnya.

Baca juga:  Ombudsman RI Berkunjung ke Polda Bali

Sementara kalau situasinya sekarang, tanahnya dipakai untuk proyek Kawasan PKB, penerapan pemotongan 18 persen ini juga menjadi tanda tanya. Karena Ganti rugi menggunakan uang negara, kalau ada pemotongan, ini bisa masuk ke ranah hukum. “Jadi, warga butuh penjelasan, kemana 18 persen itu,” tutup Johny Rewoe.

Di pihak lain, Kepala BPN Klungkung, Cok Gede Agung Astawa saat dihubungi wartawan, enggan memberi penjelasan. Dia hanya mengarahkan agar konfirmasi mengenai persoalan ini, langsung kepada Kabid Pengadaan Kanwil Provinsi Bali. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *