Umat Hindu saat melaksanakan upacara Bumi Sudha di Pura Watu Klotok. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pulau Bali masih dalam suasana cuaca buruk. Hujan deras disertai angin kencang, belakangan telah banyak menimbulkan dampak bencana alam.

Mulai dari gelombang pasang yang berakibat abrasi, tanah longsor, banjir, hingga hawa penyakit dan virus bagi manusia, seperti pandemi COVID-19. Mengantisipasi ancaman bencana alam dan dampak virus lebih parah, setiap tahun tepatnya Tilem ke enam, digelar upacara Bumi Sudha, sebagai upaya umat Hindu mengharmonisasi alam, agar tatanan alam kembali seimbang.

Upacara Bumi Sudha dipusatkan di Pura Watu Klotok, Klungkung, Senin (14/12). Pelaksanaan tahun ini dipuput Ida Pedanda Gede Made Rai Pidada dari Gria Sengguan, Klungkung. Upacara diawali dengan mendak Ida Batara Tirta dari Pura Agung Besakih (Gunung) serta Ida Batara Tirta dari Pura Ulundanu Batur (Danau) di Madya Mandala Pura Watu Klotok.

Selanjutnya, tirta pamarisudha dari ketiga pura ini dicampur menjadi satu dengan tirta pamarisudha di Pura Watu Klotok (Laut). Setelah selesai pelaksanaan upacara Bumi Sudha dan persembahyangan umat, tirta pamarisudha di campur, selanjutnya tirta tersebut dibagikan kepada masing-masing Bendesa se-Bali lengkap dengan tirta penawar dan ajengan (nasi) tawur panukun jiwa.

Baca juga:  Pementasan Janger Kurang Memenuhi Pakem

Setelah itu, nantinya dibagikan kepada krama oleh para bendesa. Tirta pamarisudha tersebut dipercikkan untuk banten pengenteg hyang dan untuk diri sendiri.

Sedangkan tirta penawar dipercikkan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan (sarwa prani), terutama yang terkena penyakit atau virus. “Sementara ajengan tawur panukun jiwa ditebar di areal pekarangan rumah hingga ke pintu gerbang atau jaba pekarangan,” kata Panitia Karya Bumi Sudha, Dewa Soma.

Dewa Soma mengatakan upacara ini awalnya tercetus dari hasil paruman sulinggih 2009 lalu, dalam mengantisipasi adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, abrasi dan bencana lainnya yang diakibatkan perubahan cuaca. Terlebih, sekarang dalam situasi pandemi COVID-19.

Baca juga:  Sambut Nyepi, Melasti Digelar Umat Hindu Jabodetabek

Sebab, para sulinggih berpandangan, alam juga harus diharmoniskan, agar tidak malah menimbulkan malapetaka kepada umat manusia, ketika terjadi ketidakseimbangan. “Upacara ini untuk membersihkan alam dan sebagai peneduh agar semua kembali ke titik nol (seimbang),” jelas tokoh agama asal Desa Satra ini.

Sesuai dengan sastra agama (rogha sanghara bhumi, tutur babad dewa, usadhaning sarwa sato), berbagai kejadian bencana alam saat ini disimpulkan sebagai kadurmangalan jagat, yang harus disikapi dengan melaksanakan ritual pembersihan alam makro-mikro. Baik secara sekala maupun niskala, salah satunya dengan upacara Bumi Sudha ini.

Secara sekala, umat harus selalu membiasakan pola hidup bersih dan sehat serta pengendalian diri. Disesuaikan dengan situasi saat ini, dengan penerapkan protokol kesehatan. Secara niskala, dengan melaksanakan ritual Bumi Sudha di tiga lokasi. Yakni gunung (Besakih), danau (Batur), laut (Klotok).

Baca juga:  Kapal Perang Jadi Kluster COVID-19 Terbesar di Korsel

Budayawan ini menegaskan, ritual ini dlaksanakan pada tilem ke enam. Sebab dalam perhitungan astronomi Hindu di Bali, sasih ke enam adalah ”sasih ganjih”. Artinya sasih rentan atau sasih disharmoni.

Sehingga, wabah penyakit maupun bencana terjadi dalam kurun waktu sasih ini hingga sasih kesanga. “Konsep dasar di Bali adalah yadnya. Sehingga di dalam pandemi COVID-19 ini, yadnya tentu harus tetap berjalan, di antaranya pelaksanaan upacara Bumi Sudha. Kita ada kesempatan untuk memohon kepada yang maha kuasa, agar pandemi ini segera berakhir,” tegasnya.

Dewa Soma berharap masyarakat tetap pula disiplin membiasakan hidup bersih. Tidak hanya bersih dari badannya saja, tetapi juga bersih dalam pikiran, ucapan dan tindakan dan menyempurnakannya dengan yadnya. Sebab, semua yang ada di alam ini dipelihara dengan yadnya. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *