Suasana Seminar Nasional Indonesia Economic Outlook 2026 "Penguatan Peran Lembaga Keuangan dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional," Senin (8/12). (BP/kup)

GIANYAR, BALIPOST.com – Ekonomi Bali belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19. Pada 2026, kondisi ekonomi Bali masih dibayangi bencana dan krisis global sehingga perlu upaya bersama untuk mencegah keterpurukan. Demikian mengemuka dalam Seminar Nasional Indonesia Economic Outlook 2026 “Penguatan Peran Lembaga Keuangan dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional” bertempat di Pusdiklat BPR Kanti, Senin (8/12).

Menurut pengamat ekonomi, Viraguna Bagoes Oka, dunia usaha di Bali diprediksi akan menghadapi tantangan yang kompleks dan berlipat ganda pada 2026. Mantan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPW BI) Bali Nusra periode 2007-2010 ini menyebut krisis global dan permasalahan struktural di sektor keuangan domestik menjadi ancaman utama.

​Oka menyoroti bahwa prospek ekonomi Bali memasuki tahun 2026 sangat dipengaruhi oleh dampak lanjutan dari perang panjang Rusia-Ukraina, krisis Palestina, krisis pangan dunia, serta bencana nasional yang terjadi pada Desember 2025.

​Secara spesifik di sektor keuangan, ia menyebut bahwa industri perbankan dan lembaga keuangan masih bergulat dengan kesulitan likuiditas kronis. “Kebijakan relaksasi debitur harus diperpanjang minimal 2-3 tahun ke depan agar pemulihan bisa terjadi,” ujarnya.

Baca juga:  Lima Hari Berturut, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Masih Delapan Puluhan

​Isu lain yang diangkat adalah pesatnya perkembangan ekonomi digital. Viraguna Bagoes Oka memandang bahwa tren seperti FinTech, Bitcoin, crypto, pinjol (pinjaman online), dan produk digital lainnya yang sulit dijangkau oleh regulasi efektif, berpotensi menjadi ancaman terbesar untuk terjadinya chaos keuangan global.

​Sebagai tulang punggung, industri pariwisata Bali paling terpuruk di Indonesia dari dampak lanjutan pandemi COVID-19 hingga akhir tahun 2024. Ketergantungan yang tinggi pada sektor ini menjadi simpul kerawanan utama.

​Akibatnya, Lembaga Keuangan dan Industri Perbankan di Bali terus mengalami tekanan berat, ditandai dengan Debitur gagal bayar dan deferred payment (penundaan pembayaran).

Risiko LAR (Loan at Risk) yang tinggi dan tekanan untuk menurunkan NPL (Non-Performing Loan).Peningkatan AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) dan ancaman Capital Charge. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa perpanjangan relaksasi hingga 2028 sangat diperlukan.

Sementara itu, Direktur Utama PT BPR Sukawati Pancakanti (BPR Kanti), Made Arya Amitaba mengatakan pentingnya menjaga optimisme bagi Lembaga Keuangan (LK), khususnya BPR, sebagai motor penggerak ekonomi riil di daerah.

Baca juga:  Narkoba Jenis Baru Belum Diatur Permenkes

​Menurut Arya, meski pun lembaga keuangan kecil sejatinya mendukung perekonomian, kebijakan pemerintah seringkali tidak menempatkannya sebagai sasaran utama, bahkan terkadang berada di prioritas keenam. Hal ini memicu tantangan dari sisi kebijakan yang dirasa kurang berpihak kepada Lembaga Keuangan (LK).

​”Harapan kita adalah tetap menjaga optimisme bagi lembaga keuangan, di mana lembaga keuangan ini akan memperkuat perekonomian di daerah. Walaupun secara kebijakan dari pemerintah tidak mengedepankan kepada lembaga keuangan, namun dengan melihat kondisi riil di lapangan, kita harus menjaga optimisme bahwa kita adalah salah satu penggerak perekonomian di daerah,” ujarnya.

Amitaba menggarisbawahi tiga tantangan utama yang harus dihadapi BPR di masa mendatang, terutama menjelang tahun 2026. Pertama BPR lahir berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992, di mana tujuannya adalah agar masyarakat terhindar dari jeratan rentenir.

Baca juga:  RSP Giri Emas Dilengkapi 4 Ruang Isolasi Pasien COVID-19

Hal ini menjadi tantangan berat bagi BPR karena nasabah awal BPR adalah nasabah rentenir yang kemudian berpindah dan membutuhkan pendampingan khusus, sementara regulasi yang ketat menghambat proses ini.

Dipaparkannya, kehadiran Pinjol (Pinjaman Online) dan dinamika pasar lainnya menjadi ancaman. Penempatan dana besar, seperti dana 200 triliun dari Kementerian Keuangan kepada Bank Himbara, seharusnya diarahkan untuk memperkuat lembaga keuangan kecil (seperti BPR) melalui skema linkage (kerja sama) yang optimal.

“Penyaluran dana untuk menggerakkan UMKM yang merupakan sektor utama BPR sebaiknya melalui BPR,” ucapnya.

Ia menambahkan kondisi di Bali belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19. Diperlukan relaksasi regulasi yang diperpanjang untuk LK di Bali, yang kabarnya diperpanjang hingga 2028. Relaksasi ini penting agar BPR memiliki ruang dan waktu untuk bernapas dan mengembangkan kembali kondisi keuangan menjadi lebih baik di tengah situasi abnormal. (Wirnaya/balipost)

BAGIKAN