Seorang pemangku yang mengenakan pelindung wajah dan masker, melayani pemedek yang sembahyang di Pura Jagatnatha, Denpasar pada Hari Suci Saraswati, Sabtu (4/7/2020). (BP/eka)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Pelanggaran dan pelecehan secara sekala dan niskala terhadap tempat suci umat Hindu (pura), pratima dan simbol keagamaan sering terjadi di Bali. Oleh karena itu, Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pura, Pratima dan Simbol Keagamaan.

Pergub ini diterbitkan untuk mencegah terjadinya penurunan kesucian pura, pencurian pratima, dan penyalahgunaan simbol keagamaan. Menariknya, tempat ibadah umat beragama lain, seperti masjid, gereja dan wihara juga turut mendapat hak pelindungan dalam pergub ini.

Pergub ini pun mendapat apresiasi. Salah satunya Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, M.S. Menurut Damriyasa, pada prinsipnya Pergub Nomor 25 Tahun 2020 ini merupakan komitmen Gubernur Bali dalam mengimplementasikan visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’.

Baca juga:  Disbud Badung Keluarkan Rekomendasi Gua Dijadikan Restoran di Pecatu

Yakni menjaga keharmonisan alam Bali secara niskala. Sebab, belakangan ini banyak kejadian, terutama wisatawan mancanegara yang melecehkan kesucian pura. Hal ini dikarenakan belum ada batasan regulasi yang mengatur wisatawan untuk tidak masuk ke pura. Terutama pura yang dijadikan tujuan wisata.

Selain itu, pencurian pratima juga kerap terjadi di Bali. Penggunaan simbol keagamaan pada tempat-tempat yang dilarang juga sering dilakukan. Seperti tatto simbol keagamaan yang dibuat pada organ tubuh yang tidak sewajarnya. “Dengan pergub ini, ke depan tidak lagi orang-orang sembarangan masuk pura, kecuali bertujuan untuk sembahyang. Begitu juga keberadaan pratima dilindungi oleh pemerintah. Penggunaan simbol-simbol keagamaan pada tempat-tempat tertentu juga dilarang,’’ ujar Damriyasa, Jumat (17/7).

Baca juga:  Rumah Anggota Dewan Digerebek, Pimpinan DPRD Bali Mengaku Belum Ada Info

Meskipun pergub hanya bisa memberikan sanksi moral kepada pelanggarnya, katanya, namun pergub bisa dijadikan landasan dasar bagi desa adat di Bali untuk membuat awig-awig tentang pelindungan pura, pratima dan simbol keagamaan, sehingga pelecehan terhadap kesucian pura, pratima dan simbol keagamaan di Bali tidak terulang kembali.

Hal senada juga dilontarkan Guru Besar Unhi Denpasar Prof. Dr. I Putu Gelgel, S.H., M.Hum. Ia mengaku sangat mendukung diterbitkannya Pergub Nomor 25 Tahun 2020. Sebab, pergub tersebut memiliki urgensi filosofis, urgensi yuridis dan urgensi sosiologis.

Dijelaskan, urgensi filosofis pergub ini adalah untuk memberi pelindungan terhadap pura, pratima dan simbol keagamaan. Sehingga pemeluk agama Hindu di Bali dalam menjalankan ibadatnya tidak terganggu oleh adanya kerusakan, kehilangan, dan/atau penyalahgunaan pura, pratima dan simbol keagamaan.

Baca juga:  Harga Fluktuatif, Pedagang Rugi Jual Cabai

Sementara urgensi yuridis pergub ini adalah memberikan landasan dan kepastian hukum bagi pemerintah di Bali, desa adat dan para pengemban kepentingan untuk melakukan pelindungan terhadap pura, pratima dan simbol keagamaan. Sedangkan urgensi sosiologis dari pergub ini adalah adanya kenyataan bahwa sering terjadi kerusakan, kehilangan, pelecehan, penyalahgunaan pura, pratima dan simbol keagamaan.

Oleh karena itu, untuk memberikan efek jera kepada pelanggar pergub ini, Profesor asal Jembrana ini mendorong agar pelindungan pura, pratima dan simbol keagamaan dibuat dalam peraturan daerah (perda), sehingga memiliki sanksi hukum yang tegas bagi pelanggarnya. Sebab, pergub hanya bisa memberikan sanksi moral. ‘’Saya sangat setuju jika pergub ini dijadikan perda, sehingga sanksi pidana bagi pelanggarnya,’’ tegasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *