Seorang pelaku perjalanan menyusuri terminal keberangkatan yang kosong di Bandara George Bush Intercontinental pada 10 Mei 2020. (BP/AFP)

SINGAPURA, BALIPOST.com – Industri penerbangan akan mengalami perubahan seiring masih belum ditemukannya vaksin untuk COVID-19. Protokol kesehatan yang ketat akan diterapkan agar masyarakat bisa hidup aman berdampingan dengan COVID-19.

Awak kabin akan dilengkapi baju protektif, sementara penumpang harus memiliki surat keterangan sehat. Masker juga merupakan alat pelindung diri yang wajib digunakan dan check-in akan memakan waktu yang cukup lama.

Ini merupakan realita baru dunia penerbangan di masa depan. Warga yang berkeinginan untuk melakukan perjalanan udara, harus mematuhi perubahan itu guna mencegah penyebaran COVID-19.

Kondisi ini, dikutip dari AFP, dinilai akan lebih menantang dibandingkan setelah teroris menyerang Amerika Serikat pada 2001. Sebagai tambahan dari adanya peraturan keamanan yang ketat diberlakukan di seluruh dunia, penumpang pesawat kini harus menghadapi pengecekkan COVID-19 yang panjang.

“Sebelum pandemi, kami diminta datang dua jam sebelum jadwal penerbangan. Kali ini, kami harus berada di Bandara setidaknya 4 jam sebelum terbang,” kata Suyanto, seorang penumpang penerbangan domestik yang diwawancarai pada akhir Mei.

Ada banyak antrian dan screening yang dilakukan sebelum dirinya bisa check in di Bandara.

Penumpang di Indonesia harus menjelaskan alasan penerbangan, menyediakan surat keterangan bebas COVID-19, dan menjalani screening berlapis, serta harus menjelaskan pergerakan mereka setelah tiba. “Ini sangat melelahkan dan mahal. Dengan adanya aturan yang ketat ini, saya pikir masyarakat akan berpikir dua kali jika ingin bepergian,” kata pria berusia 40 tahun ini yang harus membayar tiket dua kali lipat dari harga normal karena sejumlah kursi dalam penerbangan harus dibiarkan kosong untuk aturan jaga jarak.

Baca juga:  COVID-19 Timbulkan Kepanikan Global, Pemodal Dunia Mulai Tarik Investasi

Seiring industri penerbangan melakukan berbagai upaya untuk melangkah maju, para ahli memperingatkan bahwa implikasi dari pandemi ini akan jauh ke depan. “9/11 (Serangan teroris ke AS pada 11 September, red) menciptakan sebuah lingkungan baru bagi seluruh industri perjalanan, dalam hal keamanan,” kata seorang analis dari Endau Analytics, Shukor Yusof.

Ia mengatakan adanya serangan teroris pada 2001 ini bisa menjadi indikator apa yang diharapkan di masa mendatang, tantangan dari COVID-19 ini jauh lebih serius dan berimplikasi global.

Badan Penerbangan Sipil Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat sebuah aturan penerbangan yang aman di tengah pandemi COVID-19. Aturan itu dari kewajiban menggunakan masker hingga melakukan disinfeksi terhadap sejumlah area yang disentuh orang.

Sebagai tambahan, International Air Transport Association (IATA) juga sudah menyarankan agar pemerintah mendata penumpang, termasuk informasi kesehatan mereka, sebelum melakukan perjalanan. Akses Bandara juga diminta dibatasi untuk para staf dan penumpang yang akan berangkat pada hari itu saja.

Sejumlah aturan lainnya yang tercantum dalam petunjuk penerbangan itu adalah mendesain ulang area pintu masuk sehingga tidak menimbulkan antrian panjang. Bahkan juga menata kembali prosedur boarding dan melakukan pengambilan bagasi sehingga penumpang bisa lebih nyaman dan cepat dalam melakukan aktivitasnya itu. Larangan antrian di toilet juga disarankan sehingga mengurangi interaksi antarpenumpang.

Baca juga:  Kapolresta Imbau Jangan Mudik

“Krisis COVID-19 ini merupakan disrupsi terbesar sepanjang sejarah industri penerbangan. Pemulihan akan berlangsung lama dan lambat,” kata Juru Bicara Regional IATA, Albert Tjoeng.

Mengimplementasi regulasi-regulasi baru ini terbukti sangat menantang dan menyebabkan chaos.

Sejumlah penerbangan dari maskapai Amerika Serikat mengharuskan masker digunakan selama penerbangan. Namun, dalam implementasinya sangat sulit dilakukan, terutama jika penumpangnya bersikeras.

Di India, yang mulai membuka penerbangan domestiknya pada minggu lalu, awak kabin menggunakan baju APD dengan masker, serta sarung tangan karet. Namun menurut laporan media, mereka tidak tahu bahwa harus menjalani karantina setelah melakukan penerbangan.

Bandara Mumbai memberlakukan aturan jaga jarak namun dalam waktu singkat tidak berlaku setelah sejumlah pelaku perjalanan yang marah mendekati petugas setelah adanya penerbangan yang dibatalkan di menit-menit terakhir.

Aturan yang masih menimbulkan perdebatan hangat di kalangan industri penerbangan adalah membiarkan kursi tengah tetap kosong dalam upaya menjaga jarak penumpang.

Japan Airlines dan Delta merupakan sebagian dari maskapai yang menerapkan hal itu. Namun, bos maskapai penerbangan berbiaya rendah Ryanair, Michael O’Leary tidak sepakat dan menyatakan hal itu akan membuat perusahaannya tidak menghasilkan uang.

Baca juga:  Sejumlah Negara Larang Masuknya Pelaku Perjalanan dari Inggris

Keberadaan COVID-19 yang muncul pertama kali di China pada akhir tahun lalu, telah menginfeksi 7 juta orang di seluruh dunia. Pandemi ini menyebabkan perjalanan udara hampir seluruhnya terhenti dan pesawat tak lagi diterbangkan serta menciptakan pemutusan hubungan kerja massal.

Prediksi IATA, maskapai penerbangan internasional akan mengalami kehilangan pendapatan sebesar 84 miliar dolar pada tahun ini.

“Kami tidak tahu secara pasti bagaimana prospek dari pemulihan akibat COVID-19 ini,” kata Pimpnan Eksekutif Singapore Airlines, Goh Choon Phong setelah Singapore Airlines melaporkan kerugian untuk pertama kalinya sejak 48 tahun beroperasi.

Ada sejumlah tanda-tanda pemulihan dari negara-negara ekonomi utama pascamelonggarkan karantina, dengan didukung data dari IATA yang menunjukkan pertumbuhan jumlah penerbangan pada Mei dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, maskapai penerbangan masih harus berupaya keras untuk mengembalikan volume seperti sebelum COVID-19 mewabah.

Sejumlah peraturan yang membingungkan diberlakukan negara-negara untuk mengatasi penyebaran COVID-19, membuat pelaku perjalanan akan sangat sulit merencanakan liburan ataupun menengok keluarga mereka di luar negeri.

Sejumlah negara masih mempertahankan larangan bagi pelaku perjalanan dari negara-negara yang terdampak parah untuk berkunjung. Atau mengharuskan orang melakukan karantina selama 14 hari pada saat kedatangan.

Akibat beragamnya peraturan yang diterapkan, banyak orang yang dulunya kerap melakukan perjalanan udara, bisa jadi lebih memilih tidak melakukannya. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *