Suasana ngaben massal. (BP/dok)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Keberadaan krematorium kian menjamur di Bali. Bahkan, tempat yang menawarkan upacara kremasi secara praktis ini hampir ada di seluruh kabupaten, termasuk Kabupaten Badung.

Keberadaan tempat yang menawarkan paket ngaben dengan biaya murah ini dikuatirkan mendegradasi tradisi Pasuka Dukaan yang telah ada. Bendesa Adat Kerobokan, AA Putu Sutarja, saat ditemui Senin (20/1) mengakui pihaknya sejak dulu telah mengantisipasi adanya fenomena ngaben di krematorium. “Awal adanya tempat kremasi itu tujuannya baik untuk mewadahi masyarakat yang bermasalah, namun sayangnya kini justru mengarah ke bisnis yang menawarkan cara yang semakin praktis,” ujarnya.

Baca juga:  Pelaku Balapan Liar Disergap Polisi

Menurutnya, dengan biaya yang murah dan mudah, krematorium jelas menjadi pilihan masyarakat. Kecenderungan ini yang membuat budaya dan adat istiadat semakin tergerus. “Dalam ngaben itu ada konsep gotong-royong istilahnya pesuka dukaan. Ini yang hilang sekarang karena masyarakat memilih jalan yang mudah dan murah,” tegasnya.

Namun demikian, Desa Adat Kerobokan memiliki strategi dalam membentengi agar warga yang berada di 50 banjar adat tetap menjaga budaya dan adat dan tradisi di desa. “Agar warga kami tidak memilih krematorium, kami membuat perarem mengenai ngaben alit. Intinya memberikan kemudahan bagi warga kami dalam melaksanakan ngaben,” ungkapnya.

Baca juga:  Tradisi Dus-dusan Warga Pesisir Utara Tuban

Dijelaskan, dengan adanya ngaben alit masyarakt Adat Kerobokan tidak lagi terbebani terutama masalah biaya yang tinggi. “Kalau dulu ngaben sampai puluhan juta bahkan ada ratusan juta, tapi dengan konsep ngaben alit masyarakat cukup menyerahkan dana Rp 10 juta ke banjar. Dana ini akan dikelola oleh banjar untuk pengabenan, jadi lebih murah dari biaya di krematorium,” terangnya.

AA Putu Sutarja mengklaim cara tersebut mampu membentengin warganya untuk menjaga adat dan budaya serta tradisi tetap berjalan. “Dengan cara ini pasuka dukaan tetap berjalan, apalagi pemerintah juga memberikan dana santunan kematian sudah cukup untuk melaksanakan ngaben alit,” pungkasnya. (Parwata/balipost)

Baca juga:  Menjaga Penutur Bahasa Bali
BAGIKAN

2 KOMENTAR

  1. Hindu itu fleksible Semeton,menurut saya lebih bagus karna masyarakat miskin terbantu dengan ngaben murah meriah,seprty contoh ada beberapa desa yg warganya gengsi ngaben masal karna alasan memang seprty itu dari dulu, jadi yg miskin harus mengikuti si kaya ngaben pribadi yg menghabiskan bnayk bianya ,apakah adil? Si miskin tidak bisa berkutik mw tidak mau harus mengikuti dan meminjam uank di lembaga keuangan daerah, lalu dengan adanya krematorium murah harusnya terbantu,kita bukan ngomongin soal tradisi saja, kita juga harus memperhitungkan perkonomian masyarakat kita, kuat tidak dia mengikuti adat yg serba mahal di jaman ini,kalo desa adat mw melestarikan adat dengan cara melarang ke krematorium, desa adat harus ber gerak dengan konsep ngaben masal ,si kaya dan si miskin tidk ada perbedaan semua harus ngaben masal, yg di biayai dengan murah jd masyarakat tidak akan beralih ke ngaben di tempat krematorium,suksma

  2. Kalau di Br. Tegal, Bangli tradisi ngaben masal dengan konsep gotong royong dan pasuka dukan tetep berlangsung hingga kini. Perbedaan sosial ekonomi tidak ada karena pelaksanaannya di bawah komando prajuru adat, belum lama ini ngaben masal dengan tingkatan nyawa resi sampai meproras hanya mengeluarkan biaya 5 jt per sawa. Dalam acara tersebut sudah menggunakan 4 Bade dan 20 petulangan (tempat membakar) yg berupa lembu, singa dan gajah mina. Kremasi hanya sebagai alternatif ketika ada seorang pemangku meninggal tetapi dalam suasana kekeran (tidak bisa melakukan ngaben) maka melalui hasil peparuman banjar dan memperoleh persetujuan baru kremasi bisa dilaksanakan. Pada prinsipnya ngabem masalh di banjar kami jauh lebih murah karena ngaben masal dilaksanakan maksimal antara 5 sd 10 th sekali itu sudah keputusan adat.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *