Bawang merah yang sudah dipanen dikeringkan sebelum dijual. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – I Made Sudiartana, pria asal Banjar Gulingan, Desa Intaran, Sanur ini sedang bersantai di pondok kebunnya, di daerah Pantai Matahari Terbit, Sanur, Sabtu (12/10). Sejak setahun lalu, ia menanam tanaman bawang merah di tempat tersebut.

Lahan kosong dan tidak termanfaatkan tersebut dipinjam untuk menanam berbagai jenis tanaman. Pada awalnya disana ditanam buah melon dan semangka.

Namun karena harganya sempat anjlok dan penanaman buah tersebut harus memperhitungkan musim, maka ia beralih menanam bawang merah. Sebelum menanam bawang merah, ia mengikuti pelatihan dan bimtek (bimbingan teknis) menanam bawang merah yang difasilitasi Dinas Pertanian Kota Denpasar.

Di lahan seluas 1 ha tersebut, ia menanam dengan sistem tumpang sari. Tanaman utama yang ditanam, bawang merah. Sementara di sela–sela tanaman bawang, dibuatkan media tumbuh untuk buah naga.

Baca juga:  Hasil Investigasi Akuntan Publik, Korupsi LPD Serangan Capai Miliaran

Dari 1 ha lahan tersebut, produksi bawangnya mencapai 20 ton. Namun setelah dikeringkan dan dibersihkan, susut menjadi 18 ton.

Menurutnya, tanaman bawang tidak bergantung pada musim. Di daerah perkotaan seperti Denpasar dengan cuaca agak panas pada siang hari dan cukup dingin pada malam hari, cocok untuk menanam bawang merah.

Sepanjang tahun ia bisa menanam bawang merah. “Malah di sini hasilnya besar-besar,” ungkapnya.

Setelah 60 hari, barulah bawang merah bisa dipanen. Bawang yang dipanen kemudian dikeringkan selama 3–4 hari, kemudian dibersihkan dan ditimbang. Jika hujan, bawang tersebut digantung dan dikeringkan menggunakan kipas.

Baca juga:  Baru Dilepas Karena Cegah Penyebaran COVID-19, Residivis Dibekuk Lagi

Biaya produksi menanam bawang untuk 1 ha sebesar Rp 15 juta jika ditambah membeli bibit. Namun karena ia membuat bibit sendiri, maka ia hanya menghabiskan biaya produksi Rp 10 juta.

Pupuk yang digunakan pupuk kandang dan ponska plus. Sementara pestisida yang digunakan tidak dari bahan kimia, melainkan agen hayati. Agen hayati ini ia buat sendiri dari olahan daun intaran (neem), laos, daun serai diblender kemudian difermentasi selama satu hari.

Pestisida ini disemprot mengusir lalat dan hama lainnya. Hasil dari proses pemilahan bawang, bawang yang berukuran kecil digunakan sebagai bibit. Sedangkan bawang yang besar dijual.

Air yang digunakan menyiram pun air sumur. Menyiram dilakukan setiap pagi hari untuk membersihkan embun. Penyiraman menggunakan mesin dalam waktu 1 jam.

Baca juga:  Pengangguran Terbuka di Bali 30 Ribu Lebih

Menanam bawang merah di kota agak berbeda dengan di daerah Songan, Kintamani dengan kondisi suhu yang agak dingin. Di daerah kota, dengan kondisi lahan yang datar (landai), perlu dibuat gundukan yang agak tinggi, sehingga ketika hujan, air tidak menggenangi lahan bawangnya.

Untuk mengelola lahan 1 ha tersebut ia dibantu 3 orang tenaga kerja. Saat ini ia masih terkendala pembeli tetap yang siap mengambil hasil pertaniannya ketika sudah panen.

Meski demikian, ia kerap mengirim bawang merah itu ke sejumlah supermarket dan pasar tradisional. Juga ada orang pribadi yang langsung mengambil di tempatnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *