Anggota DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana (kiri). (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali membutuhkan manajemen krisis kepariwisataan. Hal ini untuk mengatasi sejumlah persoalan yang muncul dan bisa berimplikasi negatif bagi sektor pariwisata Bali.

Terbaru, persoalan RUU KUHP yang dinilai memuat sejumlah pasal kontroversial. Mengingat, pemberitaan tentang RUU KUHP telah menimbulkan keresahan di kalangan wisatawan dan pelaku pariwisata.

Pemprov Bali bahkan sampai mengeluarkan surat pernyataan yang ditandatangani langsung Wakil Gubernur Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran.

Menurut anggota Fraksi PDI-P DPRD Bali I Nyoman Adnyana dikonfirmasi, Senin (23/9), UU KUHP diubah lantaran sudah berumur ratusan tahun. Hanya, substansinya jangan sampai menjadi suatu jeratan bagi masyarakat.

Baca juga:  Jadi Destinasi Favorit Wisman, Sanur Diharap Bebas Tiga Kejahatan Ini

Seperti soal fakir miskin atau gelandangan yang bisa dipenjara atau didenda. Padahal dalam UUD 1945, fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Pun untuk beberapa pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi mengganggu keberlangsungan pariwisata, mestinya ada penjelasan yang lebih rinci atau pengecualian untuk Bali.

Seperti pasal soal perzinaan dan pasangan belum menikah yang hidup bersama. Meskipun hal itu tidak serta merta berarti Bali mendukung perzinaan. “Tidak otomatis begitu. Ini bicara teori kita. Kalau bicara persoalan, kasus, ya… beda lagi. Kasuistis itu namanya,’’ tegas politisi yang diplot menjadi Ketua Komisi I DPRD Bali ini.

Sementara itu, anggota Fraksi PDI-P DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana mengatakan, wisatawan mancanegara yang datang ke Bali memiliki norma-norma yang dibawa dari negara asalnya. Hal ini tentu akan berbenturan dengan aturan hukum pidana pada RUU KUHP.

Baca juga:  Tahun Ini, Indonesia Belum Bisa Buka Penerbangan Internasional untuk Gaet Wisman

Itu sebabnya, RUU KUHP disebut berpotensi merugikan pariwisata Bali karena beberapa pasalnya kontraproduktif dalam menghargai hak-hak privasi bagi wisatawan. “Sebagaimana kita ketahui, pariwisata adalah industri hospitality. Di mana kenyamanan menjadi hal yang utama dan kenyamanan kehidupan wisatawan salah satunya tentu tidak ekstrem berbeda dari kondisi asal wisatawan tersebut,” ujar politisi asal Denpasar ini.

Menurut Adhi Ardhana, pernyataan resmi dari Pemprov Bali merupakan bagian dari manajemen krisis kepariwisataan khususnya terkait strategi kehumasan. Dalam Peraturan Menteri Pariwisata No.10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, ada dua fokus yang dilakukan yakni 40 persen upaya mitigasi bencana dan 60 persen strategi kehumasan.

Baca juga:  Sepekan Jelang KTT G20, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Balik ke 3 Digit

Dalam hal ini, strategi kehumasan yang dimaksud yakni kemampuan menyampaikan informasi kepada calon wisatawan sebagai upaya utama mencegah terjadinya perpindahan minat berkunjung. “Sejak lama saya sudah perjuangkan peraturan ini dan kebetulan sekali baru terbit. Pola-pola pemberitaan tentunya ada para ahli marketing branding yang memiliki kapasitas dalam menjaga kondisi ini. Kita harus duduk bersama intinya, terkait konten yang akan kita sampaikan,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *