Wisuda, satu kata yang enak didengar di telinga. Apalagi, bagi yang bersangkutan (calon wisudawan) dan anggota keluarganya. Sejak Indonesia merdeka, perguruan tinggi–perguruan tinggi yang hendak melepas lulusannya ke masyarakat terlebih dahulu menyelenggarakan upacara seremonial yang disebut wisuda. Konon, istilah ‘’wisuda’’ ini merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda.

Terlepas dari itu semua, belakangan ini bukan hanya perguruan tinggi yang menyelenggarakan wisuda, tetapi kalangan sekolah-sekolah menengah (SMA/SMK) pun ikut juga ‘’mewisuda’’ para lulusannya. Bahkan, sepengetahuan penulis, anak-anak TK (Taman Kanak-kanak) pun yang hendak ‘’dikembalikan’’ ke orangtua mereka, juga diwisuda.

Baca juga:  Prioritaskan Nyawa Manusia

Penulis sempat merenung sejenak, kenapa nama kegiatan wisuda di kalangan sekolah (mulai TK hingga SMA/SMK) diseragamkan saja oleh pihak yang memiliki kewenangan/otoritas dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali. Usulan atau tepatnya pemikiran ini dilandasi oleh keragaman istilah yang muncul akhir-akhir ini.

Ada yang menggunakan istilah wisuda ada pula ‘’pelepasan siswa’’. Yang tak bisa diabaikan dengan adanya kegiatan tersebut adalah pengeluaran siswa/orangtua siswa pasti membengkak dari biasanya untuk membeli ini dan itu. Baju kebayalah, kambenlah, bahkan sampai membeli jas untuk siswa laki-lakinya. Semoga saja pemikiran simpel tentang ‘’penyeragaman istilah’’ ini mendapat tanggapan dari pihak Dikbud Provinsi Bali.

Baca juga:  Prihatin dengan Musibah Kapal Jatuh

Romi Sudhita

Jl. Srikandi, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *