Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Isu terkini dan viral di media sosial, seorang anak remaja berani mengkritisi dan menyalahkan kebijakan yang dibuat pejabat pemerintah meniadakan acara wisuda. Mirisnya biaya yang dipungut dikatakan “hanya sejuta doang”, ironisnya kondisi ekonomi keluarganya kurang mendukung untuk biaya sebesar itu.

Namun, uang sejuta baginya adalah hal kecil karena tampaknya, otaknya sudah dikuasai oleh niat besar untuk mengharuskan dilaksanakannya wisuda di sekolah.

Fenomena wisuda memang marak dilakukan beberapa tahun belakangan ini oleh hampir semua jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA baik swasta dan negeri sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi, seolah wajib dilakukan. Selebrasi wisuda di jenjang pendidikan tersebut dilakukan layaknya wisuda yang biasa dilakukan di perguruan tinggi seperti mengenakan toga, pengalungan lencana, dan bahkan dilakukan di luar sekolah dengan menyewa gedung, jasa dokumentasi, dan konsumsi catering.

Mencermati KBBI, kata wisuda bermakna peresmian atau pelantikan dengan upacara khidmat para sarjana yang baru lulus. Jadi wisuda umumnya mengacu pada upacara selebrasi resmi sebagai pengesahan kelulusan sarjana, diikuti pemberian dan penyematan gelar akademik sebagai tanda telah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi.

Baca juga:  SPW Solusi Atasi Pengangguran Terdidik

Berdasarkan makna tersebut, selebrasi wisuda yang dilakukan jenjang pendidikan dasar dan menengah mengalami pergeseran atau penyimpangan makna, karena tidak ada peresmian gelar akademik. Oleh karena itu, wisuda di tingkat dasar dan menengah memang tidak perlu dan tidak layak dilakukan.

DI samping isu kekeliruan pemaknaan kata wisuda, terdapat isu yang lebih substansial yaitu beban biaya ekstra bagi orangtua dari tingkat TK sampai dengan SMA terutama bagi para orangtua golongan ekonomi menengah ke bawah. Selebrasi yang memungut biaya ratusan ribu bahkan sampai dengan jutaan tersebut akan sangat membebani para orangtua yang kurang mampu.

Di samping itu, ritual wisuda mengajari budaya konsumtif sejak dini. Penggunaan toga, pembelian kostum khusus, make-up khusus, dokumentasi, dan sewa gedung mengajarkan mereka bahwa pendidikan memerlukan biaya mahal dengan berbagai tuntutan fasilitas yang harus dipenuhi.

Baca juga:  Menyeragamkan Kegiatan Wisuda

Hal ini bertentangan dengan filosofi pendidikan nasional yang menekankan pada pembentukan karakter kesederhanaan yang mengutamakan esensi dan nilai pencapaian proses daripada selebrasi berlebihan.

Selebrasi bukan berarti tidak penting. Selebrasi bisa dilaksanakan berupa acara perpisahan yang lebih bersifat edukatif, sederhana, dan menekankan pada kreativitas anak-anak di sekolah.

Bila pun ada biaya, bisa diminimalisir sekecil mungkin, karena anak-anak perlu diajar untuk berhemat dan lebih memprioritaskan hal-hal penting lainnya seperti keberlanjutan studi pada jenjang berikutnya.

Kegiatan perpisahan bisa dikemas dengan adanya pertunjukan seni dan seremonial akademik yang bermanfaat. Pertunjukan seni misalnya menampilkan adik-adik kelas dalam seni tari, musik, dan sastra kreatif (baca puisi, drama).

Selain penampilan seni, seremonial akademik yaitu penghargaan bagi siswa berprestasi akademik 10 besar di sekolah perlu dibacakan. Hal ini akan memotivasi adik-adik kelasnya berprestasi lebih baik.

Kegiatan akademik lain yang lebih bermakna adalah membuat kesan dan pesan atau kritik dan saran untuk sekolah agar menjadi lebih baik ke depannya. Kegiatan tersebut dapat mengembangkan pemikiran kritis dan menumbuhkan rasa tanggung jawab membesarkan almamater tercinta. Ini bisa dijadikan sebuah buku kenangan yang dapat dijadikan evaluasi oleh sekolah dan guru untuk memperbaiki kualitas sekolah dan pembelajarannya.

Baca juga:  SMKN 1 Denpasar Wisuda 725 Lulusan, Sebanyak 62 Orang Sudah Diterima di PTN

Hal menarik lainnya yang bisa dilaksanakan dalam acara perpisahan adalah dengan mengundang salah satu alumni sukses di sekolah tersebut untuk menjadi pembicara yang dapat memberikan inspirasi bagi para lulusan baru untuk dapat menentukan pilihan sekolah berikutnya yang mampu memacu dirinya lebih berprestasi dan membanggakan almamater tercintanya.

Para guru dan orangtua melalui komite sekolah sudah seharusnya mengutamakan komunikasi dan bekerjasama dalam menentukan dan memutuskan sebuah kegiatan atau acara dengan bijaksana, apalagi melibatkan pembiayaan ekstra. Anak didik perlu dibelajarkan untuk lebih memahami esensi dan kebermanfaatan sebuah kegiatan yang mencerdaskan, mengasah sensitifitas, kritis, dan empati daripada selebrasi semata. Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga pendidikan Indonesia lebih maju ke depannya.

Penulis, Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *