Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh Anton Muhajir

Secara terpisah dua lembaga negara di Bali memberikan laporan akhir tahun dengan fakta tak jauh berbeda, maraknya kasus-kasus terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sepanjang 2018. Laporan pertama dari Kepolisian Daerah (Polda) Bali. Dalam jumpa pers akhir tahun di Seminyak, Badung pada Jumat (28/12) lalu, Polda Bali memberikan data rangkuman kasus-kasus kriminal di pulau ini sepanjang 2018.

Salah satu yang menarik bagi saya adalah maraknya kasus tindak pidana khusus selain kasus-kasus kriminal konvensional seperti pencurian, penganiayaan, dan semacamnya. Di antara 69 kasus tindak pidana khusus yang ditangani Polda Bali sepanjang 2018, kasus terkait ITE adalah kasus paling banyak kedua dengan 13 kasus atau sekitar 19 persen. Kasus ITE ini berada di urutan kedua setelah kasus terkait merek (22 kasus). Namun, kedua jenis kasus ini jauh lebih banyak dibandingkan kasus-kasus lain, seperti perdagangan (2 kasus), tindak pidana korupsi (5 kasus), dan tindak pidana pencucian uang (7 kasus).

Pada hari yang sama dengan jumpa pers Polda Bali, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Bali juga membunyikan alarm senada. Dari 471 warga negara asing (WNA) yang mendapatkan tindakan administratif keimigrasian sepanjang 2018, sebanyak 62,34 persen di antaranya merupakan kasus terkait kejahatan siber. Jumlah WNA dideportasi akibat kasus kejahatan siber itu mengalahkan WNA yang melebihi izin masa tinggal (overstay) sebanyak 43,24 persen. Persentase kasus ini memang mengalami irisan di mana WNA yang melanggar izin masa tinggal juga mungkin melakukan kejahatan siber.

Banyaknya kasus kejahatan siber di Bali itu tak bisa dilepaskan dari penangkapan 55 warga Cina awal tahun lalu, Januari 2018. Saat itu, Polda Bali menangkap WNA Cina itu karena melakukan penipuan berbasis internet, termasuk media sosial, dengan mengaku sebagai polisi atau jaksa.  Warga Cina itu memang menyasar sesama warga Cina daratan. Namun, mereka melakukan kejahatan itu dari Bali. Dengan menggunakan visa kunjungan singkat mereka tinggal di Bali untuk melakukan kejahatan siber. Dalam kasus Januari 2018 lalu, mereka tinggal di Kecamatan Denpasar Utara, di dua rumah mewah yang hampir tiap hari saya lewati. Karena itu, bagi saya, kejahatan siber oleh warga Cina itu terasa begitu dekat.

Baca juga:  ''Grab for Good'', Tingkatkan Keterampilan dan Layanan Digital Masyarakat Asia Tenggara

Tamu Asing

Dekatnya tempat operasi para pelaku kejahatan siber oleh warga Cina itu terasa seperti tamu tak diundang yang datang mengetuk pintu. Tanpa kita tahu, tiba-tiba saja kejahatan itu sudah berdiri di depan rumah kita. Para pelaku ternyata berada di lingkungan kita sehari-hari tanpa kita sadari. Dalam skala lebih kecil, kejahatan-kejahatan siber itu juga mulai terjadi dalam bentuk lain.

Salah satu contohnya terjadi pada akhir November 2018 lalu, pada seorang gadis muda di Kabupaten Bangli. Mantan pacarnya yang tidak terima setelah mereka putus ternyata menggunakan foto setengah telanjang si gadis sebagai alat untuk megancam si gadis melalui orangtuanya, ‘’Kamu balikan dengan aku atau foto telanjangmu aku sebarkan!’’

Foto itu dikirim melalui aplikasi pesan instan WhatsApp kepada orangtua si korban. Bukannya takut, orangtua korban justru melaporkannya ke Polres Bangli. Pemuda belasan tahun yang tidak terima karena telah diputus pacarnya itu pun diancam Pasal 27 ayat 1 Undang-undang (UU) ITE tentang Penyebarluasan Informasi Elektrnonik yang mengandung materi asusila.

Daftar kasus terkait ITE itu, sebagaimana laporan Polda Bali, bisa bertambah panjang dengan jenis kejahatan berbeda-beda. Selain balas dendam menggunakan materi asusila mantan pacar (porn revenge) seperti di Bangli, jenis kejahatan siber lain yang marak akhir-akhir ini adalah penyalahgunaan data pribadi pengguna aplikasi peminjaman uang.

Baca juga:  Fee Based Income BRI Tumbuh Double Digit

Dalam Catatan Tahunan 2018 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menyebutkan bahwa kasus terkait penyalahgunaan data pribadi pengguna fintech ini juga termasuk kasus terbesar sepanjang setahun 2018. Maraknya jenis kejahatan pada pengguna aplikasi teknologi keuangan atau financial technology (fintech) di Bali itu cukup mengejutkan. Sebab, selama ini belum pernah terdengar kasusnya di Bali ketika di tempat lain, terutama Jakarta, memang semakin banyak.

Mari Mengantisipasi

Kian banyaknya kejahatan siber seperti penipuan daring, balas dendam dengan materi asusila, dan penyalahgunaan data pribadi aplikasi fintech itu menjadi semacam alarm penanda betapa pentingnya isu terkait ITE ini mulai mendapat perhatian lebih, terutama dari sisi perlindungan privasi warga secara digital. Sudah saatnya isu perlindungan data pribadi menjadi isu arus utama (mainstream).

Dari perspektif lebih luas, perlindungan privasi termasuk bagian dari hak-hak digital (digital rights). Secara ringkas, hak-hak digital merupakan hak-hak mendasar bagi warga terkait dengan perilaku berinternet.

Sederhananya, ini adalah hak-hak warga di internet. Definisi hak-hak digital bisa sangat beragam tergantung dari sudut pandang: ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan, infrastruktur, dan lain-lain. Namun, dari sekian banyak definisi itu, pada dasarnya hak-hak digital mencakup tiga hal utama yaitu hak untuk mengakses informasi (right to access), hak untuk berekspresi (right to express), dan hak atas rasa aman (right to be safe). Semua dalam konteks kegiatan dalam jaringan (online).

Hak mengakses informasi, misalnya, adalah bahwa semua warganet berhak mengakses situs atau aplikasi selama sesuai dengan peraturan. Praktiknya, akses internet belum sepenuhnya bisa diakses semua warga, terutama mereka yang berada daerah pelosok (rural) ataupun mengalami diskriminasi akibat orientasi seksual terutama kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Baca juga:  Di Lombok, Menpar Berbagi Semangat Digitalisasi Komunikasi Publik

Hak untuk berekspresi mencakup kebebasan bersuara atau berpendapat melalui  internet. Tiap orang memiliki hak menyampaikan pendapatnya terkait isu apa pun. Nyatanya, makin hari makin banyak warganet diancam penjara akibat ekspresi mereka di dunia maya.

Adapun hak atas rasa aman termasuk di dalamnya termasuk hak untuk bebas dari perundungan (bully), pengambilan dan penyebarluasan data pribadi tanpa persetujuan (doxing), atau bahkan penguntitan (stalking). Mengantisipasi maraknya penyalahgunaan data bisa dilakukan antara lain melalui pembuatan aturan perlindungan data pribadi.

Salah satunya melalui UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tahun ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) di DPR. Adanya aturan PDP, semacam Aturan Perlindungan Data Umum (GDPR) di Uni Eropa, akan membuat korporasi digital harus lebih melindungi hak-hak privasi pengguna layanan mereka.

Tak kalah mendesak, antisipasi tindak kejahatan siber juga harus dilakukan mulai dari pengguna itu sendiri. Sudah saatnya pengguna layanan digital memikirkan ulang bagaimana perilaku daring mereka sehari-hari melalui beragam aplikasi ataupun platform.

Sudah saatnya, kita semua memikirkan sejauh mana kita mengumbar data pribadi yang justru mengundang peluang niat pelaku kejahatan siber untuk mengincar kita. Karena, pada akhirnya, kita adalah pemilik data pribadi sendiri dan semua risiko atas apa yang terjadi pada kita tak bisa kita lepaskan dari tanggung jawab kita masing-masing.

Penulis blogger di Bali, aktif dalam gerakan literasi digital

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *