Suasana perang ketupat yang digelar Desa Adat Kapal, Senin (24/9). (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Bisa picu kemarahan desa pakraman. Bunyi headline Bali Post, Sabtu (10/11), ini bagai menguak bara yang selama ini terpendam di keseharian krama Bali. Dikotomi keberadaan desa adat/pakraman dan desa dinas di Bali memang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama oleh para pemangku kepentingan Bali.

Constraint ini justru harus dijadikan potensi dalam membangun Bali di masa depan, bukan menjadi hambatan. Desa pakraman sebagai desa adat di Bali, memegang peran utama dalam keseharian kehidupan krama Bali.

Secara adat, budaya dan agama, keseharian kehidupan krama Bali sejak lahir hingga meninggal dunia berada dalam tata kelola desa pakraman. Sementara desa dinas mengelola warga Bali secara administrasi kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam realitas keseharian kehidupan masyarakat Bali masih banyak terjadi benturan di antara pelaksanaan keduanya secara beriringan.

Implementasi perundang-undangan dan peraturan daerah, masih sering berseberangan dengan awig-awig dan pararem dari desa pakraman. Kasus operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) atas juru pungut parkir Jalan Matahari Terbit Denpasar dan penjual karcis di objek wisata Tirta Empul Gianyar, merupakan contoh masih adanya saling sengkarut antara hukum negara dengan pararem desa pakraman.

Pulau Bali kental dengan adat budaya dalam keseharian kehidupan krama Bali yang telah berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi. Desa pakraman dengan segala bentuk struktur sosial-budaya yang terkandung di dalamnya, merupakan bentuk local genius para nenek moyang krama Bali.

Keberadaan desa pakraman Bali sejatinya justru merupakan kunci dalam menata Bali pada masa depan sebagai satu kesatuan tata kelola. Sehingga desa pakraman harus tetap terjaga secara lestari sebagai identitas jati diri Bali.

Baca juga:  Bansos "Racuni" Kecerdasan Pemilih

Provinsi Bali yang ada sekarang dibentuk berdasar Undang-undang No. 64 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, perkembangan Bali yang terjadi sekarang nampaknya menuntut adanya perubahan atas undang-undang tersebut. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis agar Bali tetap lestari dengan jati dirinya di tengah perubahan global yang terjadi.

Terbentuknya desa pakraman di Bali memiliki sejarah panjang yang ada kaitannya dengan perjalanan Sang Yogi Markandheya dari Gunung Raung Jawa Timur ke Bali pada abad ke-8 Masehi. Dalam Badahuana Tatwa Maha Rsi Markandheya dikisahkan bahwa setelah para pengikut Markandheya berhasil membuka hutan, kemudian Sang Yogi membangun Kahyangan dan membagikan tanah untuk pekarangan dan ladang pengikutnya. Para pengikut Maha Rsi yang menempati pekarangan kemudian membentuk suatu persekutuan yang merupakan cikal bakal terbentuknya desa di Bali.

Kelanjutannya dilakukan penataan desa dan kahyangan oleh Mpu Kuturan dengan mengamalkan ajaran Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), yang dimanifestasikan dalam wujud Kahyangan Tiga. Yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem, sebagai tempat pemujaan bagi seluruh krama desa. Krama desa dalam keseharian bermasyarakat berpedoman pada awig-awig yang dibuat oleh krama desa sendiri. Awig-awig itu menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan krama desa yang diatur dalam balutan filosofi Tri Hita Karana. Sehingga pantas jika desa pakraman disebut sebagai jati diri krama Bali.

Dalam perkembangannya, dibentuk desa dinas (dienst) sebagai perwakilan pemerintah saat pemerintahan Hindia Belanda. Kehadiran desa dinas ini tetap berlanjut dan dipertahankan pada masa NKRI sekarang. Sehingga saat ini di Bali terdapat desa dinas dan desa pakraman dengan fungsinya masing-masing, yang berjalan secara bersamaan dalam mengelola masyarakat Bali. Realitasnya memang masih sering terjadi benturan kepentingan antara desa dinas dan desa pakraman, sehingga harus ada solusi jangka pendek serta jangka panjang agar permasalahan ini tidak menghambat penataan Bali pada masa depan.

Baca juga:  Perjanjian Kawin, Titik Temu Politik Agraria

Kesuksesan melestarikan desa pakraman dalam rangka membangun Bali pada masa depan membutuhkan kepiawaian kepala daerah dalam mengelola Bali secara komprehensif. Kepala daerah harus cerdas ketika menyerap aspirasi krama Bali, guna menyusun skala prioritas dalam program pembangunan Bali. Keberadaan master plan yang berlanjut dengan road map menjadi jalur sukses menjalankan program pembangunan sesuai aspirasi masyarakat Bali. Agar tujuan yang diharapkan segera tercapai, diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan.

Pertama, mendampingkan desa dinas dengan desa pakraman dalam satu institusi Desa Bali. Bagaimanapun, desa pakraman telah menjadi jati diri Bali dalam tata pemerintahan di tingkat yang paling rendah. Desa pakraman menjadi satu-satunya desa adat yang masih berjalan sesuai dengan fungsinya, setelah nagari di Sumatera Barat dihapuskan. Sehingga desa pakraman harus menjadi jantung penataan Bali pada masa depan. Hal ini mengingat bahwa denyut nadi kehidupan keseharian krama Bali, dari lahir hingga mati, berada di dalamnya.

Kedua, meletakkan otonomi pemerintahan Bali di provinsi. Harus mulai kita gagas masa depan Bali yang satu. Salah satunya adalah dengan meletakkan otonomi pemerintah daerah Bali berada di provinsi. Sementara sembilan kabupaten/kota yang ada lebih bersifat administratif, tanpa ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Apabila otonomi Bali terletak di provinsi, maka tata kelola Bali dalam satu kesatuan langkah komando akan menjadi lebih mudah untuk dijalankan.

Baca juga:  Karakter : Muara Akhir Pendidikan

Ketiga, menggagas Provinsi Daerah Istimewa Bali. Tidak ada salahnya kalau dari sekarang kita menggagas Provinsi Daerah Istimewa Bali, dengan landasan keistimewaan adat-budaya yang dimiliki Bali. Bukan sekadar atas nama pariwisata. Tata kelola pemerintahan daerah Bali yang berbasis pada desa pakraman, menjadi opsi yang masuk akal. Tentu saja diperlukan perubahan yang signifikan dalam perundang-undangan yang mengatur Bali, dan diperlukan waktu cukup panjang bertahun-tahun. Hal ini tentu menjadi keniscayaan jika memang dikehendaki stakeholder Bali. Akhirnya akan lebih mudah mewujudkan era Bali baru yang terintegrasi dalam pola satu kesatuan wilayah, dengan satu manajemen dan tata kelola.

Menata Bali pada masa depan adalah mendudukkan Bali dengan segenap kearifan penghuninya dalam pesona adat-budaya beserta keelokan bentang alamnya, agar selalu tetap berada dalam taksu dan ke-ajeg-an Bali. Local genius krama Bali merupakan intangible heritage yang menjadi culture capital (modal sosial-budaya) cukup besar dalam menjaga Bali pada masa depan. Dibutuhkan konsistensi kebijakan dalam jangka panjang. Seluruh stakeholder Bali harus menyatukan langkah secara komprehensif, konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Semua itu tentu harus tetap berada dalam balutan filosofi keseimbangan Tri Hita Karana di keseharian kehidupan masyarakat Bali.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *