Made Satria Pramanda Putra. (BP/Istimewa)

Oleh: Made Satria Pramanda Putra

Pada situasi normal business as usual, negara melakukan pemungutan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan untuk membiayai pengeluaran. Baik pengeluaran untuk menjalankan tugas-tugas rutin maupun pengeluaran guna melaksanakan pembangunan.

Kondisi berbeda dialami saat ini. Dalam situasi pandemi, fokus negara beralih dari fungsi pajak sebagai sumber pendapatan negara menjadi fungsi regulasi.

Pajak dilihat sebagai fungsi regulasi umum digunakan dalam rangka memberikan stimulus perekonomian. Langkah ini ditempuh sebagai upaya penyelamatan sumber-sumber ekonomi sekaligus memastikan keberlangsungan dunia bisnis dalam menghadapi pandemi.

Salah satu langkah pemerintah yang belakangan hangat menjadi perbincangan adalah pemberian insentif atau relaksasi di bidang perpajakan. Berbagai pilihan kebijakan yang dapat ditempuh seperti (1) penyesuaian tarif, (2) penyederhanaan administrasi, (3) hingga percepatan proses pengembalian pajak. Saat ini paling tidak terdapat tiga kebijakan di bidang perpajakan yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai respons atas pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir.

Baca juga:  Menimbang 44 Tonggak Peradaban Bali Era Baru

Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perppu ini setidaknya terdapat empat hal terkait dengan bidang perpajakan, yaitu (a) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT, dari semula 25% menjadi 22% untuk tahun 2020-2021, 20% mulai tahun 2022, fasilitas tarif 3% lebih rendah bagi wajib pajak go public yang memenuhi kriteria; (b) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); (c) Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan (d) Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan.

Kedua, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19. Penerbitan kebijakan ini sebagai tindak lanjut Perppu 1 Tahun 2020 untuk percepatan pelayanan dan pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19.

Baca juga:  DPR Setujui RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Jadi UU

Ketiga, pemberian insentif yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19. Ketentuan ini memperluas sektor usaha penerima fasilitas yang sebelumnya sudah tersedia dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020. Terdapat lima insentif pajak yang diberikan pemerintah dalam ketentuan ini, yaitu (a) PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah; (b) Pembebasan PPh Pasal 22 Impor; (c) Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30%; (d) Restitusi PPN dipercepat dan (e) Insentif pajak untuk pelaku usaha UMKM.

Terbitnya berbagai kebijakan di atas menunjukkan begitu vitalnya peran sektor perpajakan dalam menjalankan pemerintahan. Berbagai insentif atau relaksasi yang diberikan pemerintah diharapkan mampu merangsang secara langsung roda perekonomian nasional. Meskipun fokus saat ini beralih pada pemberian stimulus, bukan berarti pemerintah mengabaikan fungsi pajak sebagai sumber pendapatan negara. Fungsi pengawasan oleh aparat/fiskus kepada wajib pajak semestinya tetap berjalan sesuai koridor yang belaku.

Baca juga:  “Super Deduction Tax” untuk Pengembangan SDM

Apalagi kini terjadi suatu pergeseran dalam dunia bisnis. Beberapa bisnis konvensional mengalami tekanan hebat hingga tidak mampu bertahan di tengah pandemi, sedangkan beberapa sektor justru terlihat mengalami pergerakan positif. Khususnya bisnis yang bergerak pada sektor digital/elektronik. Fenomena ini dapat segera menjadi concern pemerintah, khususnya apabila dikaitkan dengan kebijakan di bidang perpajakan. Sejatinya, sinyal positif terkait transaksi elektronik telah ditangkap pemerintah dalam rumusan tentang transaksi elektronik pada Perppu 1 Tahun 2020. Hal tersebut merupakan sebuah langkah pemerintah yang baik dan patut di apresiasi.

Terakhir, adanya pembatasan jarak dan terciptanya jargon new normal dalam pandemi ini menjadi suatu peluang bagi pelaku bisnis transaksi elektronik untuk mengembangkan model bisnisnya. Di titik inilah diperlukan upaya ekstra pemerintah dalam merancang regulasi yang progresif supaya suatu saat tidak tertinggal dengan berbagai model transaksi yang hadir di kemudian hari.

Penulis, praktisi Perpajakan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *