Suasana pelaksanaan peringatan Sumpah Pemuda. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Sumpah Pemuda telah berusia 90 tahun saat ini. Bagi ukuran manusia, usia ini sudah tua. Barangkali bagi negara, apalagi negara yang sedang (selalu) berkembang, mempunyai sejarah penjajahan selama ratusan tahun dan suku ratusan jumlahnya, usia ini mungkin masih muda.

Tetapi sebagai sebuah spirit dan inspirasi Sumpah Pemuda adalah sumber daya dan super daya bagi Indonesia yang mempunyai latar seperti yang disebutkan tadi. Dua karakter yang melekat

pada Sumpah Pemuda adalah kehadirannya pada awal abad ke-20 dan dilakukan oleh pemuda yang berusia di bawah 25 tahun (bahkan mungkin belasan tahun jika dilihat dari foto-fotonya). Ini justru menjadi super daya bagi Indonesia.

Dasawarsa ketiga abad ke-20 (tahun 1928), bukanlah dasawarsa sembarangan. Ia adalah bagian dari era modern, baik dari ukuran demokrasi, teknologi maupun kesadaran berbangsa. Modern di sudut ini harus dilihat sebagai bagian dari kesadaran, termasuk di dalam kesadaran itu adalah  rasionalisme. Dan modernisasi sebagian besar terdiri dari pemahaman-pemahaman rasional.

Orang menggunakan lebih banyak pikirannya untuk memudahkan pencapaian tujuan mereka. Penggunaan kendaraan pada awal abad ke-20 adalah intisari akal manusia untuk memudahkan pencapaian tujuan. Ketika Sumpah Pemuda itu lahir, tidak lain ini adalah rasionalisasi (dan akhirnya rasionalitas) bagi pemuda sebagai sebuah strategi paling cocok untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, kebebasan Indonesia dari penjajahan asing. Rasional tidak hanya berwujud teknologi, tetapi mengendap dalam pikiran.

Terhadap rasionalisasi ini, pada Sumpah Pemuda ada dua. Yang pertama adalah rasional terhadap fakta bahwa Indonesia itu luas. Maka cara yang dipakai adalah dengan mengumpulkan perwakilan pemuda dari masing-masing wilayah untuk berkumpul. Pemikiran ini cerdas.

Baca juga:  Gugatan Karya Seni Instalasi I Ketut Putrayasa tentang Ancaman Krisis Air di Masa Depan

Dengan mengumpulkan pemuda dari seluruh wilayah, maka perwakilan telah didapatkan secara langsung. Dalam arti perwakilan inilah yang menyebarkan ide serta mensosialisasikan ide tentang nasional dan kemerdekaan ke seluruh wilayah Indonesia (bukankah pada waktu itu belum ada radio, televisi, apalagi WA ke pelosok Indonesia).

Kedua, cara untuk mengikat mereka ke dalam kesatuan itu adalah dengan bersumpah. Mungkin bukan itu yang dipakai penyebutan pada waktu itu, tetapi sumpah itulah cara yang mengikat mereka (bukankah hukum dan norma lain belum ada pada waktu itu?).

Maka, ini merupakan sikap rasional yang keluar dari para pemuda Indonesia. Dan rasionalisme adalah bagian dari sikap modernisasi. Dengan demikian, secara nyata kemudian terlihat bahwa Indonesia sudah menyuarakan modernisasi pada saat negara-negara lain di dunia belum paham apa arti modernisasi itu (apalagi di Asia Tenggara).

Sumbangan ini merupakan hal yang luar biasa yang belum pernah dibahas pada pembicaraan-pembicaraan sebelumnya terhadap peran pemuda dan Sumpah Pemuda. Modernisasi ini boleh dikatakan juga sebagai perkembangan lanjutan dari kesadaran tentang perjuangan nasional Indonesia yang dibangkitkan pada 20 Mei 1908. Dua dari momen ini merupakan sumbangan rasionalisasi dari bangsa Indonesia yang seharusnya disadari oleh para pemuda Indonesia sekarang (bukan sekadar main HP.)

Demokratisasi adalah juga sebuah praksis, dalam arti adanya kesadaran dan praktik terhadap konsepsi itu. Demokratisasi merupakan bagaian dari cara masyarakat untuk menyatakan persamaan di dalam dirinya, baik di dalam kesadaran bermasyarakat, bernegara, bahkan beragama. Sumpah Pemuda mengandung unsur-unsur demokrasi seperti itu, jauh melampaui negara-negara lain.

Di dalam Sumpah Pemuda, ide dan praksis demokrasi tersebut justru mengandung pesan yang sangat besar bagi Indonesia. Yang pertama, bahwa ia telah memberikan pesan tentang kesamaan antara warga dari berbagai wilayah Indonesia. Bisa dibayangkan, demikian luasnya wilayah geografis Indonesia, anak-anak muda yang sebagian berusia belasan tahun itu telah mengerti tentang persamaan di antara agama, suku, dan bahasa di Indonesia. Mereka yang hadir untuk mengikuti sidang Sumpah Pemuda itu adalah pemuda dari Jawa, Sulawesi, Sumatera dan lain wilayah di Indonesia, dengan berbagai suku dan agama.

Baca juga:  Alokasi Belanja Negara ke Bali Mencapai Rp 22,256 Triliun

Mereka bersatu, bertatapan muka di sebuah tempat, di sebuah ruangan, membicarakan tentang bagaimana sebaiknya Indonesia tersebut. Ini merupakan praktik demokrasi yang luar biasa, justru diperlihatkan oleh anak-anak muda Indonesia pada dasawarsa ketiga abad ke-20. Pada masa ini tidak terlalu banyak bangsa di dunia yang tahu apa itu demokrasi. Bahkan, Perserikatan Bangsa-bangsa pun baru lahir tahun 1945.

Secara sederhana, boleh dikatakan organisasi PBB ini adalah sebagian panggung demokrasi dunia karena menempatkan kedudukan negara sama di Majelis Umum. Dikatakan sebagian karena pada elemen Dewan Keamanan, hanya lima negara yang mempunyai hak veto (ini bukan demokrasi). Dengan demikian, Sumpah Pemuda justru memberikan panggung besar kepada dunia bahwa mereka telah mampu menunjukkan demokrasi yang sebenarnya kepada dunia, melebihi Perserikatan Bangsa-bangsa yang demokrasinya setengah-setengah.

Bagi eksietensi keberadaan negara Indonesia, sidang Sumpah Pemuda ini justru memberikan pelajaran yang amat baagus bagi demokrasi yang cocok di Indonesia (sayang sekali ini telah ditinggalkan dan baru disadari belakangan). Demokrasi yang dinampakkan dalam Sumpah Pemuda itu adalah demokrasi perwakilan.

Dengan demikian, luasnya geografis Indonesia dan dengan demikian banyaknya suku di Indonesia dan sebagai negara berkembang dengan tingkat pendidikan yang masih belum merata (kiranya saat ini juga demikian), maka perwakilan merupakan hal yang paling cocok untuk menyuarakan pendapat Indonesia itu. Inilah yang

Baca juga:  Remaja dan Kejahatan ”Cyber”

disampaikan oleh anak-anak muda dalam Sumpah Pemuda tersebut. Tidak harus semua hadir, tidak harus semua mengeluarkan pendapat dari seluruh masyarakat Indonesia tetapi itu dilakukan oleh anak-anak muda yang telah mewakili suku dan wilayahnya di Indonesia. Itu akan memberikan solusi yang lebih cepat tanpa harus berbelit-belit.

Sikap dan pilihan ini merupakan pilihan cerdas dan tentu saja mereka yang mewakili daerah dan suku serta agamanya itu adalah pemuda-pemuda yang cerdas. Mereka telah memberikan contoh bahwa demokrasi yang paling cocok di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Ini juga yang “dicontoh” oleh pembuat undang-undang dasar tahun 1945, yang mengejawantahkannya dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat dan sebelumnya juga telah tercermin dalam sila keempat dari Pancasila. Jika Indonesia sekarang mencontoh demokrasi ala Barat, bisa jadi ini berlebihan dan tidak mengakar dalam kultur geografis Indonesia.

Hasil dari Sumpah Pemuda itu mencerminkan bagaimana demokrasi yang sesungguhnya telah ditetapkan oleh anak-anak muda. Berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia tersebut merupakan cermin demokrasi dari baangsa Indonesia yang tidak dapat dibandingkan

dengan kesepakatan lain di dunia. Ini merupakan puncak prestasi yang memberikan inspirasi lanjutan bagi proklamasi tahun 1945. Jadi, apabila jagat dunia saat ini gembar-gembor soal demokrasi, Indonesia sesungguhnya telah mempunyai simpanan “data” yang demikian besar tentang ragam demokrasi itu, jauh di masa lalu sejak sembilan dekade yang lalu.

Penulis adalah staf pengajar Sosiologi, FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *