
DENPASAR, BALIPOST.com – Pascaamandemen UUD 1945 dan penghapusan GBHN, sistem perencanaan pembangunan di masa reformasi secara langsung mengalami perubahan.
Perencanaan pembangunan tak lagi berbasis GBHN, melainkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang dijabarkan dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional).
Dengan sistem ini, RPJPN merupakan penjabaran dari visi dan misi Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. RPJPN telah menggantikan peran GBHN.
Berdasarkan pengamatan penulis, GBHN maupun RPJPN memiliki kelebihan dan kekurangan. RPJPN lebih fokus, tetapi dinilai kurang menjamin kesinambungan pembangunan pusat dan daerah.
Arah pembangunan dari RPJPN hanya 20 tahun, yang disusun oleh pemerintah dan DPR. Akan tetapi, seiring dengan pergantian presiden, arah pembangunan sering berubah sesuai visi dan misi tiap kandidat.
Gagasan ini muncul dari kegelisahan akan arah pembangunan nasional yang sering berubah setiap kali terjadi pergantian presiden. Dengan demikian, kondisi ini memicu wacana untuk menghadirkan kembali Haluan negara untuk pembangunan berkesinambungan.
Konsep Haluan negara ini kembali mencuat pada masa sidang MPR 2012. Berlanjut pada tahun 2014, Badan Pengkajian MPR RI, yang dipimpin Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan konsep Haluan Negara Baru.
Istilah PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) kemudian menguat tatkala Ketua MPR Periode 2014-2019 dipimpin oleh Zulkifli Hasan, dan diteruskan di era Bambang Soesatyo hingga sekarang. Istilah PPHN digunakan sebagai bentuk Haluan negara baru yang tidak mengubah sistem presidensial. Lantas, apakah PPHN akan menjadi transformasi Haluan Negara?
Pro Kontra PPHN
Mencuatnya istilah PPHN masih menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang kontra, kehadiran dari PPHN dikhawatirkan membuka jalan amandemen UUD 1945. Dengan dilakukan amandemen UUD 1945, dikhawatirkan akan melebar pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Selain itu, kehadiran PPHN ini akan terkesan tumpang tindih dengan RPJN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) yang merupakan rencana pembangunan 20 tahunan, dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), merupakan pembangunan 5 tahunan.
Kemudian, dengan PPHN ini dinilai berpotensi mengurangi fleksibilitas presiden. Presiden dalam hal ini terbatasi karena wajib mengikuti PPHN meskipun ada kondisi baru yang membutuhkan strategi berbeda.
Di sisi lain, kehadiran PPHN dinilai dapat memberikan kepastian arah pembangunan nasional. PPHN menjadi pedoman jangka Panjang agar pembangunan tidak berubah-ubah setiap pergantian presiden.
Proyek-proyek besar (seperti IKN, Energi, Infrastruktur), tetap jalan meski berganti pemerintahan. Presiden juga tidak lagi Menyusun visi dan misi semata untuk kempanye, tapi tetap harus sejalan dengan arah PPHN.
Transformasi dari GBHN dan PPHN
GBHN dan PPHN pada intinya sama-sama mengatur haluan negara, merefleksikan pencarian format ideal bagi arah pembangunan nasional. Namun perdebatannya belum selesai, apakah dikemudian hari PPHN akan menjadi solusi untuk konsistensi kebijakan, atau justru menimbulkan masalah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Tentu, hal itu tergantung desain hukum PPHN yang dibuat nantinya. Jika PPHN dibuat hanya sebagai pedoman strategis jangka Panjang tanpa mengikat presiden secara kaku, PPHN kemungkinan bisa menjadi solusi.
Namun jika sampai menggeser prinsip presidensial atau membuka ruang manipulasi politik, PPHN justru berpotensi menimbulkan masalah baru. (Agung Dharmada/balipost)