
DENPASAR, BALIPOST.com – Salah satu layangan yang mencuri perhatian saat Rare Angon Festival adalah layangan Bagong. Tokoh punakawan dalam pewayangan ini menyita perhatian karena ukurannya terbesar di antara ratusan layang-layang yang menjadi peserta festival dengan taraf internasional itu.
Layangan balon berbahan kain parasut itu terbang berdampingan dengan layangan naga yang ukurannya juga cukup besar. Pemilik layangan bagong Dani Cahyo Prabowo, asal Sleman, Yogyakarta, Kamis (31/7) menuturkan, layang-layang bagong memiliki karakter yang lucu.
Layangan ini sengaja dibuat dengan karakter tersebut serta agak besar agar bisa bergerak geal geol, layaknya sedang melawak. “Di Bali juga ada punakawan dalam pewayangan seperti mredah, tualen, tapi di Jawa namanya bagong,” ujarnya.
Karakter bagong dibuat untuk menghibur pengunjung sekaligus memperkenalkan budaya nusantara pada masyarakat internasional.
Layangan bagong diakui telah diikutsertakan dalam berbagai festival dan rencananya hari kedua ia akan mengeluarkan layangan buatan terbarunya.
Pembuatan layangan tersebut memakan waktu satu bulan lebih karena harus membuat anatomi bentuk bagong. Sementara tali yang digunakan untuk menerbangkan layangan besar tersebut adalah tali katun nilon.
Menurutnya tali ini lebih aman digunakan dan tak menimbulkan panas ketika ditarik ulur. Bahkan lebih kuat sehingga tidak putus ketika kecepatan angin kencang. “Sementara pelayang Bali kan menggunakan tali plastik,” imbuhnya
Sejak 2008 ia sudah mulai mengikuti berbagai festival layangan dan Rare Angon Festival pun diikuti sejak awal. Meski lapangannya lebih sempit dari sebelumnya, namun ia melihat kali ini tempatnya bagus karena berpasir putih.
“Tapi karena ada galian di sana sehingga sempit. Kalau lapangannya full sampai pojok mungkin bisa lebih leluasa main. Kalau sekarang pemain berdekatan sehingga ada kemungkinan tersangkut satu sama lain karena angin berhembus tak tentu membuat layangan goyang dan nanti bisa melilit layangan lain,” ujarnya.
Namun ia cukup senang dapat mengikuti festival ini karena dapat bertemu pemain yang lain apalagi dari luar negeri. “Biasanya ketemu saar festival, gathering, kalau engga ada festival, kita mau keluar, biayanya juga mahal,” ungkapnya.
Pemain layangan yang tergabung dalam komunitas Pelangi Sleman ini telah cukup banyak menciptakan layangan. Ia mengoleksi ratusan layangan, bahkan hari itu ia membawa cukup banyak layangan untuk diterbangkan.
Dengan ratusan koleksi, penghobi layangan ini perlu merogoh kocek cukup dalam. Namun sebagai kite maker, tentu saja ia juga menjual layangan hasil karyanya. ,”Kita buat terus dan dijual dan pakai sendiri. Kalau ada pesanan, juga kita buat,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)