Sejumlah pelayang bersiap menaikkan layangan di Rare Angon Festival pada Jumat (1/8) di Pantai Mertasari, Sanur. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hari kedua pelaksanaan Rare Angon Festival pada Jumat (1/8) penuh sesak. Kendaraan terutama roda empat terpantau sejak sore hari memenuhi Jalan Sekar Waru, Pantai Mertasari hingga Jalan Pangembak.

Kemacetan terjadi hingga Jalan Danau Poso dan Jalan Bypass Ngurah Rai Sanur. Semua jalur penuh dengan kendaraan roda empat yang ingin menyaksikan pertunjukan layang-layang yang dibawa pelayang internasional.

Steering Committe Rare Angon Festival Kadek Dwi Armika mengaku antusias masyarakat terhadap festival layang-layang ini luar biasa. Mereka penasaran menyaksikan revolution kite yang dibawa peserta dari berbagai negara tersebut.

“Ini (layangan internasional) jenis layangan inflatable. Ada layangan dari China yang disetir, termasuk jenis revolution kite. Jenisnya pun ada banyak, ada sport kite, stand kite. Pada malam hari layangan ini menggunakan lampu LED dengan baterai lithium, bisa baterai jam atau HP, ketahanannya bisa 3-4 jam,” bebernya

Festival yang rencananya dibuka Sekda Denpasar IB Alit Wiradana, akhirnya dibuka perwakilan Dinas Pariwisata Denpasar dengan pelepasan layang-layang kayon. Usai pembukaan, dilanjutkan dengan penampilan wayang udara yang dibawakan tim rare angon dan dalang dari Printing Mas.

Baca juga:  Buka "Border" Bali, Lima Hotel di Nusa Dua Disiapkan untuk Karantina Wisman

Dwi mengakui kedatangan masyarakat pada hari kedua di luar prediksi. Ia menyebut salah satu alasannya karena kali ini pembukaan dilakukan sore hari sehingga kunjungan membeludak.

“Tumpah ruah, jalanan macet. Tidak disangka layangan internasional ini belakangan sangat diminati. Mungkin karena style soft kite, layangan lembut, anak-anak suka dan cenderung menghibur pengunjung,” ujar seniman layang-layang ini.

Layangan Kekinian Buat Pengunjung Tergelitik

Selain itu bentuk layangan yang kekinian seperti labubu, dan boneka serta bentuk unik lainnya membuat pengunjung tergelitik. Seperti layangan terpanjang manta ray dari perwakilan pelayang China. Layangan ini sangat mirip dengan aslinya, ikan pari manta dengan ekor panjang dan kepala bersudut dan lebar.

“Masyarakat kita suguhkan dengan budaya yang kita integrasikan. Yang mana pelayang internasional, mereka datang 1 orang membawa beberapa layangan yang cukup besar tanpa rangka. Sedangkan kita di Bali dengan akar budaya yang cukup kuat, kita menjaga dan merawat tradisi layang-layang,” ujarnya.

Baca juga:  Pj Gubernur Rancang Perda Pajak dan Retribusi Daerah

Kehadiran pelayang internasional ke ajang Rare Angon Festival juga melihat bagaimana orang Bali bermain layang-layang. Layang-layang di Bali diterbangkan dengan kebersamaan, puluhan orang. “Itu merupakan wujud integritas yang mana teknik dan konstruksi budaya layang-layang kita di Bali itu merupakan suatu yang sangat mereka kagumi untuk disimak, disajikan dan dipelajari,” ungkapnya.

Diakui ia belum mendata pelayang yang membawa layangan terbanyak, namun dari data sekilas China membawa layangan hingga 45- 50 buah. Hanya, lapangan terbatas menyebabkan sebagian saja yang diterbangkan. “Seperti China membawa 40-50, namun yang bisa diterbangkan hanya 12-15. Kita di sini berbagi, yang penting mereka mewakili, dapat tempat untuk terbang,” ujarnya.

Selanjutnya layang-layang internasional, lomba pindekan dan sunari akan dilaksanakan di Muntig Siokan. “Internasional kite terbang sampai tanggal 3 Agustus sedangkan tanggal 4 Agustus closing di gedung Alaya,” ujarnya.

Seribu Layangan Ikuti Kompetisi Tradisional

Kompetisi layang-layang tradisional yang akan mulai dilaksanakan tanggal 2 Agustus berdasarkan catatan sore tadi ada lebih dari 1.000 layang-layang yang akan berlaga. “Untuk besok 500-an, sisanya hari minggu,” imbuhnya.

Baca juga:  Bukti TMMD Ke-101, Kodim Badung Bangun Tugu

Menurutnya penilaian ratusan layangan itu bisa saja dilakukan dalam satu hari karena layangan tradisional Bali cenderung bentuknya sama. Namun yang dinilai adalah nilai rasa gerakan layangan.

“Layangan tradisional ada agem elog, abah, layangan itu punya karakter tarian. Disanalah keunikan layangan Bali itu, bukan karena bentuknya tapi juga sentuhan rasa, suara guwang lanang -wadonnya yang harus saling mendukung dan bersahutan, terus agem, igel, elognya harus bisa muncul dalam kompetisi itu,” ujarnya.

Layangan Bali kini telah berkembang dengan sistem knock down, bisa bongkar pasang tanpa mengurangi nilai tradisionalnya. Dengan demikian demi menjaga tradisi, kompetisi layangan tradisional tidak boleh diganggu dengan sentuhan teknologi.

“Yang namanya tradisi, bahan, bentuk tetap tradisional. Ketika dia bergeser dan berkembang, maka dia mengarah ke kreasi kontemporer,” tandas koordinator juri ini.

Sehingga saat kompetisi layangan yang diharapkan adalah tradisional dan sesuai pakem Bali. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN