Para pepatih ngurek atau menusukkan keris ke dada sebagai cihna bhakti dan setia kepada Ida Bhatara sesuhunan. (BP/sue)

DENPASAR, BALIPOST.com – Prosesi ngarebong di Desa Adat Kesiman sudah berjalan sejak zaman Kejambaen yakni 1937 ketika Kesiman merupakan sebuah kedistrikkan.

Wilayahnya meliputi Pemogan, Suci, Sanur hingga Nusa Dua. Makanya sesuhunan sekitar wilayah ini ikut serta dalam prosesi ngarebong yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali tepatnya Minggu Wuku Pon Medangsia yang pada tahun ini jatuh pada 11 Mei 2025.

Tradisi ngerebong bagi warga Desa Adat Kesiman, Denpasar melebihi kemeriahan Hari Raya Galungan.

Seperti tampak warga dengan suka cita pada Minggu saat digelarnya ngerebong.

Tradisi ini dipusatkan di Pura Agung Petilan Kesiman bertujuan untuk mengharmoniskan jagat Bali sekala-niskala.

Prosesi ngarebong berlangsung semarak karena selain diikuti sesuhunan puluhan pura di Kesiman juga diikuti sesuhunan dan krama Pemogan dan Sanur.

Baca juga:  Dari Ribuan Pedagang di Pasar Tradisional Terdampak hingga Penyekatan di Denpasar Diperluas

Saking uniknya tradisi ini, sejak 2018 dinyatakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya RI.

Rangkaian ngarebong dimulai pagi hari yakni tibanya kober Pura Mregan dan pratima Puri Agung Kesiman di Pura Agung Petilan Kesiman.

Kober putih, merah dan hijau ini memberi tanda bahwa rangkaian upacara sudah dimulai.

Dilanjutkan kedatangan pratima Puri Agung Kesiman, Pratima Manca dan pangerob Dalem lainnya. Prosesi ini disebut medalan dewa.

Bersaman dengan prosesi medalan dewa dan ngarebong juga digelar tabuh rah aci.

Jro Bendesa Adat Kesiman, Jro Mangku Wisna didampingi budayawan yang juga Wakil Bendesa Adat Kesiman, Guru Gede Anom Ranuara menjelaskan tradisi ini diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur Ida Bhatara.

Baca juga:  ST Widya Dharma Tengkulung Garap Ogoh-ogoh "Prabhu Tarakasura"

Ia mengatakan, pangerebongan merupakan warisan turun temurun.

“Di dalamnya ada marebu atau pertemuan para raja dengan masyarakat, berbaur, maka di sana ada madanan – danan,” ujarnya.

Pada pangerebongan kali ini yang berbeda adalah lomba ngelawar dan lomba membuat penjor. Pada bagian parahyangan, para pemangku menyiapkan upacara marebu (pangerebongan).

Rangkaian pangerebongan dilanjutkan dengan maklecan pada Senin (12/5) dan maprani pada Selasa (13/5). Pada Senin juga dilaksanakan tajen suryak. “Tidak boleh ada orang sebet (sedih) di sana, harus gembira disimbolisasikan dengan tajen suryak. Saat ayam beradu lalu diam (bengong), maka penonton masuryak, dan ada momen tertentu jug penonton masuryak, dan dalam pertandingan adu ayam itu, cenderung draw (seri),” jelasnya.

Baca juga:  Nyepi, Denpasar Padamkan 17 Ribu Lebih LPJU

Pada saat tajen pangrebongan, krama menedunkan tiga kala yaitu kala jabug, enjer, dan kuwuk. Khusus pada momen tajen juga menjadi simbol nyomia bhuta kala dengan memberi ruang tajen ini. “Makanya ada palinggih khusus,” ujarnya.

Puncak ritual ini adalah para pepatih ngurek atau menusukkan keris ke dada sebagai cihna bhakti dan setia kepada Ida Bhatara sesuhunan.

Setelah upacara ngerehang dilanjutkan upacara Maider Bhuwana atau ngarebuin. Prosesi ini diikuti pemangku petapakan Manca dan Prasanak Pangerob dengan maider bhuwana dari kanan ke kiri.

Saat itu dipundut kain poleng Kesiman Sudamala mengelilingi wantilan sebagai simbol terjaganya keharmonisan. (Sueca/Citta Maya/balipost)

BAGIKAN