Rektor Unud usai menjalani pemeriksan di Kejati Bali, Senin (13/3). (BP/Dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Isu mengenai adanya “titipan” kejaksaan terkait pengusutan dana sumbangan pembangunan institusi (SPI) Universitas Udayana santer terdengar. Kabarnya ada anak oknum jaksa atau anak oknum pejabat Kejati Bali, serta adanya mahasiswa dari oknum kejaksaan yang lulus sebagai mahasiswa, namun protes akan besarnya nominal SPI, sebagai ikhwal diusutnya kasus ini.

Namun isu yang dinilai tanpa data itu tegas dibantah pihak Kejati Bali. Melalui Aspidsus Agus Eko Purnomo, Minggu (19/3), isu adanya titipan itu dibantahnya.

Kejati Bali pun siap uji data dengan pihak yang menyebut bahwa latar belakang pengusutan kasus SPI yang menetapkan empat pejabat Unud, termasuk rektor adalah karena adanya titipan anak pejabat Kejati Bali yang tidak diterima di Unud.

Baca juga:  Barang Bukti Perkara Tri Nugraha Tunggu Analisa Penyidik

“Tidak benar ada pejabat Kejati Bali (seperti itu). Saya sudah punya datanya silahkan saja kalau ada dimaksud yang ingin dicocokan,” tegas pejabat melati tiga, sebagai pucuk pimpinan dalam mengusut SPI Unud tersebut.

Sebelumnya, Kejati Bali mengumumkan ke media bahwa bahwa ada empat tersangka dalam kasus SPI. Nama-nama yang mencuat ada Rektor Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. Ir. Nyoman Gde Antara, M.Eng., alias Prof. NGA., bersama tiga pejabat lain, I Made Yusnantara, I Ketut Budiartawan, DR. Nyoman Putra Sastra, sebagai tersangka.

Tim hukum Unud, Dr. Nyoman Sukandia, dkk., memandang kasus SPI cendrung kesalahan administrasi dan juga kesalahan pada sistem. Dikatakan, tidak ada kerugian negara dalam SPI ini. Tidak ada uang SPI masuk ke dalam kantong pribadi. “Namun semua uang masuk kas negera,” jelasnya.

Baca juga:  Perampok MC di Tohpati Mulai Diadili

Karena di nilai ada kesalahan administrasi dan sistem, itu masih bisa diperbaiki karena tidak ada kesalahan yang fatal. “Semestinya masih bisa diperbaiki. Namun sudah dijadikan tersangka,” jelas Sukandia.

Atas pendapatnya itu, tim hukum Unud meminta seharusnya Kejati Bali melakukan gelar perkara terlebih dahulu. “Ini kadung disangkakan. Paling tidak dilakukan gelar perkara. Kan juga ada restoratif justice (RJ). Apalagi yang sifatnya administratif. Lebih baik diselesaikan dengan pendekatan restoratif justice, lakukan pembinaan,” jelasnya.

Soal kerugian negara yang disampaikan hingga Rp 105 miliar dan Rp 3,9 miliar, serta potensi kerugian perekonomian negara hingga Rp 334.572.085.691., menurut Sukandia, itu sangat menyeramkan.

Baca juga:  Dari Kadin Bali Minta Ini untuk Percepat Pulihnya Pariwisata hingga Dua Hari, Belasan Korban Jiwa COVID-19 Dilaporkan Bali

Pihaknya sudah bersurat ke KPK, biar dilakukan pemeriksaan, bersurat ke BPK dan BPKP, untuk minta tolong dilakukan pengecekana. “Saat ini, tim BPK bekerja. Tim KPK juga diharapkan melakukan pemeriksaan dan dari sana kami berharap untuk bisa memperbaiki administratif kami, jika ada kesalahan administratif kami,” tegasnya.

Yang sempat mencengangkan adalah tudingan jaksa sering mencari kesalahan. “Kita tahu, jaksa sering mencari kesalahan. Namun asas keadilan harus ditegakan. Jaksa harus adil,” ucap tim hukum Rektor Unud.

Soal kesalahan administrasi, tim hukum rektor juga menyinggug audit Kejati Bali. “Coba audit Kejaksaan Tinggi Bali, sempurnakah mereka. Saya rasa tidak pernah sempurna kok,” ucapnya. (Miasa/balipost)

BAGIKAN