Suasana dialog interaktif sosialisasi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang digelar live di Bali TV, Senin (18/5). (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tak berlebihan menyebut Desa Adat Tuban sebagai salah satu pintu gerbangnya Pulau Dewata. Menyusul keberadaan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada wewidangan desa adat di Kabupaten Badung itu.

Lokasinya pun strategis, karena diapit dua samudera (Selat Badung dan Samudera Indonesia), serta dua kawasan pariwisata (Kuta dan Kedonganan). ‘’Bandar Udara Internasional Ngurah Rai merupakan salah satu maskot desa adat kami, di samping kami memiliki Patung Satria Gatotkaca,’’ ujar Bendesa Adat Tuban I Wayan Mendra dalam Dialog Sosialisasi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ di Kabupaten Badung yang disiarkan Bali TV, Senin (18/5).

Mendra menambahkan, mobilitas dan aktivitas ekonomi masyarakat terbilang padat. Ini karena jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 15 ribu jiwa di dua banjar adat. Meskipun wilayah desa adat terbilang kecil dan dua pertiganya sudah habis untuk bandara.

Potensi ini semakin lengkap dengan aset-aset budaya, termasuk peninggalan tradisi seni Siat Geni yang baru-baru ini tercatat dalam Cagar Budaya Tak Benda. Dari sisi birokrasi pemerintahan desa adat, telah ada Kantor Bendesa Adat hingga pecalang yang jumlahnya lebih dari 100 orang.

Baca juga:  Desa Adat Kuta Ajukan Rencana Pengelolaan Pantai Kuta dan Pasar Seni

Potensi ini diolah dengan baik dalam kaitan tugas bendesa sebagai pelaksanaan awig-awig. Termasuk di dalamnya memelihara kerukunan antarumat beragama. ‘’Walaupun digempur penduduk pendatang dengan ancaman yang demikian besar terkait budaya, pembangunan kumuh, kami masih layak disebut desa adat yang bisa bersaing dengan desa adat lain,’’ jelasnya.

Khusus dalam kaitan potensi seni dan budaya, Mendra menyebut Desa Adat Tuban memiliki hampir seluruh perangkat gamelan yang ada di Bali, kecuali Gambang. Masyarakat setempat juga aktif dalam sekaa atau sanggar seni, dan ada juga pelawatan Ratu Ayu yaitu tari barong yang sakral dan dipertunjukan setiap Kajeng Kliwon.

Lantaran memiliki banyak sekaa gong, mereka sampai pentas bergiliran di Pura-pura. Potensi desa yang pernah hilang bahkan dihidupkan kembali yakni Med-medan, yang dilaksanakan sehari setelah Nyepi. ‘’Pada Ngembak Geni, masyarakat datang ke bawah pohon beringin di pusat desa kemudian kami melakukan acara med-medan dengan menggunakan bangsing pohon beringin,’’ terangnya.

Menurut Mendra, tradisi itu dikemas dalam acara Pasar Majelangu. Akses jalan dari Jalan Raya Tuban sampai Polsek Kuta ditutup untuk mempertunjukkan potensi adat, seni dan budaya Bali setiap tahunnya. Menariknya, hal itu dirangkai juga dengan pertunjukan atraksi budaya masyarakat di luar Bali.

Baca juga:  Desa Adat Kerobokan Lestarikan Tradisi Pesamuan Hidangan Tumpek Wayang

Kemudian ada pula sajian kuliner tradisional hingga internasional. Event ini bahkan sangat dinanti-nanti oleh sekaa teruna di desa adat setempat. Kendati untuk tahun ini, Pasar Majelangu dengan tujuan utama pelestarian adat, seni dan budaya tersebut dibatalkan karena ada pandemi Covid-19. “Mereka (sekaa teruna – red) sejak 3-4 bulan sebelum Nyepi sudah mulai menggarap ogoh-ogoh dan berlatih menabuh. Jauh sebelumnya bahkan sudah menyiapkan fragmentari, sekaa kidung, kebolehan mereka akan ditunjukkan di Pasar Majelangu,” paparnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan ‘’Kun’’ Adnyana mengatakan, visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ mengandung tiga dimensi. Yakni membangun manusia Bali, menjaga harmoni alam, serta menguatkan dan memajukan kebudayaan.

Desa Adat Tuban merupakan sebuah potret bagaimana keluwesan desa adat dalam membangun desanya, di samping juga harus berhadapan dengan kondisi yang dipandang sebagai tantangan sekaligus ancaman dalam membangun tata kelola lewat kebudayaan. “Kebudayaan tetap bisa kita jaga kelestariannya, di samping juga kita bisa memberdayakan masyarakat desa adat untuk sejahtera bersama,” ujarnya.

Baca juga:  Desa Adat Tegalasah Kelod Terus Kembangkan Kerajinan Dulang

Menurut Kun, Tuban lebih condong dipahami sebagai desa adat urban. Dengan luas wilayah 1.500 meter persegi harus menghidupi 15 ribu lebih masyarakat.

Kondisi ini sebetulnya sangat susah, tetapi tingkat konfliknya justru sangat rendah. Tata kelolanya pun bagus, bagaimana membangun keserasian antara parahyangan, palemahan (alam) dan pawongan (manusia) termasuk kebudayaannya.

Ditambah lagi posisinya di area strategis nasional dan internasional, Desa Adat Tuban mampu bertahan dalam kemasyarakatan yang positif. “Jadi, sangat luar biasa sebenarnya kontribusi desa adat ini menjaga nama baik kita, menjaga nama baik bangsa ini di hadapan seluruh dunia internasional, karena di sanalah pintu gerbang, campuhan, banyak bangsa bertemu,” paparnya.

Kun menambahkan, Tuban yang kosmopolitan dan urban juga memiliki warisan budaya tak benda. Alokasi dana desa adat bisa dipakai untuk menjaga sekaligus memajukan, melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan seni budaya yang menjadi potensinya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *