pengungsi
Proses belajar-mengajar di SMPN 3 Semarapura, Rabu (25/10). (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Guru menjadi pusat narasi. Menteri Nadiem Makarim memandangnya sebagai penentu mutu pendidikan. Pak Menteri kini sedang mengurai benang kusut perkara yang melilit guru sejak lama. Ternyata, guru dijerat oleh kekuasaan birokrasi, dikontrol tumpukan administrasi pembelajaran, mengajar demi pendidikan otak, dan diancam tergantikan oleh kemajuan teknologi, Goole, Youtube, dan berbagai aplikasi pembelajaran daring.

 

Satu-satunya alasan mengapa guru berada dalam rantai hierarki kekuasaan pemerintahan adalah karena sekolah dipahami sebagai lembaga negara. Karena itulah di sekolah bertumbuh dan mental birokrasi dipraktikkan secara masif.

Puncak kekuasaan adalah kepala sekolah. Bawahan langsung kepala sekolah adalah guru-guru. Di ujung tombak praktik persekolahan adalah guru yang tumbuh lagi menjadi penguasa-penguasa kelas. Guru yang sudah dirasuki mental birokrasi pun memandang siswa sebagai bawahan. Dalam novel ‘’Lambo’’ karya N. Marewo, kuasa birokratis yang dianut seorang guru sejarah dapat mengeluarkan Lambo dari sekolahnya karena siswa yang cerdas ini dinilai membangkang.

Peristiwa perayaan hari kelulusan dengan mencoret seragam sekolah dan siswa berkonvoi di jalan raya, adalah perayaan kemerdekaan siswa dari kolonialisasi pendidikan. Coretan-coretan di bangku, dinding WC, dan tembok-tembok belakang kelas, adalah suara-suara pemberontakan siswa yang diredam.

Mereka muak oleh kuasa para guru namun kalah karena secara struktural posisinya sangat lemah. Seorang guru kontrak berpendidikan pascasarjana amat kreatif menanggapi sikap guru yang enggan mengerjakan administrasi berupa tumpukan berkas seberat 10 kg. Ia menyusun semua tetek-bengek administrasi guru menjadi satu paket dan dipasarkan secara daring.

Perangkat pembelajaran yang sudah siap, dikirim langsung kepada guru yang memesan. Praktik ini amat buruk tetapi menjadi pilihan karena guru sudah tidak sanggup mengerjakan. Guru dipaksa dan ketakutan menolak karena akan berakibat fatal. Bahkan banyak praktik lain yang serupa, seperti jual-beli PTK (penelitian tindakan kelas) dalam paket lengkap dari proposal, proses penelitian, seminar, hingga publikasi di jurnal.

Baca juga:  Gambaran Sosial dalam Debat Kandidat Presiden

Administrasi adalah alat bagi kepala sekolah dalam menilai kepatuhan atau ketertiban para guru. Kepatuhan dan ketertiban yang ditunjukkan oleh tumpukan berkas berisi tabel dengan angka atau pernyataan singkat yang direkayasa. Hal ini tidak mencerminkan realitas karena guru menggunakan data lama yang terus disalin yang mana ini juga fiktif belaka.

Tetapi meskipun demikian, kepala sekolah dan pengawas manggut-manggut dan membubuhkan tanda tangan sebagai tanda ‘’lolos’’ administrasi. Tidak ada masalah lagi. Semuanya sudah dibuktikan oleh kertas. Maka, fokus pengamatan kepala sekolah dan pengawas bukan inovasi, kreativitas, pelayanan yang dilakoni oleh para guru namun bendel-bendel administrasi.

Wabah administrasi yang menjangkiti jiwa para guru tentu saja berdampak pada praktik mengajar. Guru-guru mengejar materi habis sesuai dengan administrasi waktu. Tidak ada masalah karena administrasi bisa dikerjakan dengan kebohongan yang kini sudah menjadi rahasia bersama. Pengajaran terjadi di permukaan dan tanpa makna bagi hidup nyata. Pada akhirnya semua siswa naik kelas dan lulus, mengantongi nilai tinggi yang tidak selalu mencerminkan penguasaan kompetensi karena nilai-nilai itu semua buatan sesuka hati para guru.

Pada suatu hari ujian di sebuah SD, soal dijaga berbagai pihak dan dikawal oleh polisi, untuk membuktikan pelaksanaan ujian itu jujur, bersih, dan murni. Tetapi ini omong kosong besar karena kantong LJK yang sudah disegel tadi di kelas, oleh panitia ujian sekolah dibongkar lagi untuk memperbaiki jawaban siswa yang salah. Setelah ini kantong kembali disegel lalu dikirim ke UPP (Unit Pelaksana Pendidikan) di bawah kawalan polisi. Seram tetapi bohong!

Baca juga:  Di Bangli, Guru Hanya Belum Terima Dana Sertifikasi Bulan Desember

Sanggupkah para guru melawan kuasa-kuasa administrasi itu? Agar terjadi perubahan berarti di sekolah, para guru harus berinisiatif untuk bergerak bersama, merencanakan suatu gerakan perubahan yang berbasis pada inisiatif guru bersama-sama. Bagi kepala sekolah yang terlalu feodal dan gila kuasa, gerakan ini adalah ‘’subversif’’, pembangkangan, atau ‘’kudeta’’.

Yang bagus adalah kepala sekolah berinisiatif bersama para guru untuk melakukan gerakan perubahan bersama untuk mulai menghindari kuasa-kuasa semu di sekolah. Gerakan ini sangat penting karena akan menjadi kekuatan bersama yang masih mutlak dibutuhkan karena para guru pasti tidak sanggup melakukan perubahan sendiri sebagai konsekuensi mental yang terkolonialisasi kuasa administrasi birokrasi sudah sejak lama.

Kepala sekolah harus mengubah posisi, dari berorientasi kepada atasan menuju bergerak di sekolah secara nyata bersama para guru. Peran kepala sekolah adalah mengubah kuasa yang dimilikinya untuk memberdayakan para guru dalam suatu gerakan bersama ‘’merdeka’’ sebagai kekuatan dalam satu lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan, sehingga akan terjadi independensi atau kemerdekaan sekolah.

Kepala sekolah sudah waktunya berhenti menengadah dan memohon ke atas, kepada bapak-bapak di kabupaten atau provinsi. Kepala sekolah menggunakan kuasanya itu untuk menyelenggarakan perubahan dasar di sekolahnya bersama para guru demi siswa, dari paradigma berkuasa menjadi melayani.

Baca juga:  Mendesain Metode Pembelajaran yang Berpihak pada Anak 

Esai ini ditulis untuk memberi masukan kepada para guru bahwa ada kondisi buruk yang lama yakni kolonialisasi yang merenggut semua hal kebebasan, kemerdekaan, inisiatif, inovasi, kreativitas. Guru takluk oleh kuasa yang berjenjang. Guru ‘’balas dendam’’ kepada siswa, sehingga pengajaran yang terjadi selama ini bukan pengajaran yang melayani dengan dialog-dialog humanis, tetapi praktik penguasaan. Demi aman maka guru pun bekerja untuk kekuasaan, misalnya memenuhi semua administrasi mengajar agar kepala sekolah dan pengawas senang.

Perubahan mendasar telah diembuskan oleh Bapak Menteri Nadiem Makarim. Namun tanpa pergerakan perubahan nyata di sekolah-sekolah, maka ide perubahan ini tidak pernah menjadi kenyataan. Maka dunia pendidikan akan tetap stagnan. Karena itu dibutuhkan gerakan bersama yang berbasis satu satuan pendidikan. Hal ini amat dibutuhkan karena guru-guru merasa tidak sanggup menjadi guru penggerak belajar merdeka sendirian. Di sini penting sekali praktik nyata kepala sekolah dalam memimpin dengan tegas mulai meninggalkan mental sebagai penguasa di sekolah menjadi koordinator lapangan perubahan yang bergerak bersama guru. Karena itulah, kepala sekolah harus meninggalkan meja kerjanya dan mengabaikan tumpukan kertas di atasnya atau di rak-rak di ruangannya.

Rapat-rapat kepala sekolah adalah dengan kawan-kawan guru dan bukan lagi dengan kepala dinas. Rapat-rapat yang nyata untuk memecahkan masalah sampai benar-benar terjadi perubahan. Kepala sekolah dan guru harus percaya diri dan yakin bahwa yang paling paham dengan kondisi siswa dan berbagai persoalannya adalah guru dan bukan pengawas atau kepala dinas pendidikan.

Penulis, Dosen Undiksha Singaraja dan Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *