
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki 6.275 koperasi yang terdata di Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Bali. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.700 atau sepertiganya masuk kategori tidak aktif.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Bali, Tri Arya Dhyana Kubontubuh, mengatakan koperasi yang tidak aktif umumnya tidak lagi menjalankan kewajiban organisasi secara berkelanjutan.
“Masih ada yang tidak aktif atau terkendala karena permasalahan modal ataupun permasalahan dengan sesama pengurus dengan anggotanya itu sekitar 30 persen atau sekitar 1.700-an yang di kategori tidak aktif,” ujarnya, Selasa (16/12).
Ia menjelaskan, koperasi dinyatakan tidak aktif apabila selama dua tahun berturut-turut tidak melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) serta tidak menyampaikan laporan rutin kepada dinas terkait. Selain itu, kondisi fisik koperasi yang sudah tidak menunjukkan aktivitas usaha juga menjadi penilaian tambahan.
Tri Arya mengungkapkan sebagian besar koperasi tidak aktif berada dalam pembinaan pemerintah kabupaten dan kota. Sementara, koperasi yang berada di bawah binaan provinsi jumlahnya relatif kecil. Yaitu, sekitar 11 persen.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pihaknya tengah melakukan upaya pembersihan data koperasi tidak aktif dengan berkoordinasi bersama pemerintah pusat.
“Ini sedang kita upayakan untuk pembersihan data koperasi tidak aktif itu. Jadi, kita upayakan dengan bekerja sama dengan pemerintah pusat, Kementerian Koperasi, bagaimana cara menghilangkan koperasi-koperasi yang tidak aktif tersebut,” paparnya.
Di sisi lain, Tri Arya juga memaparkan perkembangan koperasi desa/kelurahan Merah Putih yang saat ini berjumlah 716 koperasi dan telah terbentuk di seluruh desa dan kelurahan di Bali. Namun, sebagian besar koperasi tersebut masih dalam tahap awal operasional.
“716 itu kebanyakan 99 persen itu mereka koperasi baru. Jadi, hanya 13 yang merupakan dari berasal dari koperasi yang sudah jalan. Jadi, yang 703 itu baru semua,” ungkapnya.
Menurutnya, koperasi desa/kelurahan Merah Putih membutuhkan waktu untuk berkembang karena keterbatasan SDM, pengalaman, dan permodalan. “Mereka tentu memerlukan waktu untuk memberdayakan dari sisi SDM-nya. Belum tentu mereka semua memahami koperasi,” kata Tri Arya.
Berdasarkan data Sistem Informasi Koperasi Desa (SIM Cops Desk), sekitar 400 koperasi desa tercatat aktif karena telah mengoperasikan minimal satu gerai. Namun, hasil verifikasi lapangan menunjukkan jumlah koperasi yang benar-benar aktif masih lebih rendah.
“Kalau dari pengisian SIM Cops Desk itu ada sekitar 400-an yang dianggap sudah aktif. Tapi kalau kita telusuri juga langsung ke lapangan, itu baru sekitar 120-an lah yang kami yakin benar-benar sudah aktif,” jelasnya.
Meski demikian, Tri Arya menilai kondisi tersebut masih wajar mengingat usia koperasi yang relatif baru serta masih menunggu kejelasan dukungan permodalan dari pemerintah pusat.
“Menurut kami ini sangat wajar karena mereka memerlukan waktu dari sisi SDM, kemudian dari sisi permodalan dan dari sisi pengalaman mereka untuk menjalankan usaha bisnis ini,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil) Provinsi Bali, I Nyoman Suwirta mengatakan keberadaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ini merupakan PR terberatnya selaku Ketua Dekopinwil Bali. Namun, pihaknya akan terus mengoptimalkan agar kooperasi Merah Putih yang ada di semua desa ini bisa berjalan dengan baik.
Bahkan, mampu menghidupkan ekonomi di desa. Meskipun saat ini desa telah memiliki Bumdes. Begitu juga dengan desa adat yang telah memiliki LPD dan BUPDA. Namun, masing-masing lembaga ini akan ditata dan berfokus pada kelebihan masing-masing. Sehingga, tidak ada persaingan ekonomi antara Koperasi Merah Putih, Bumdes, LPD maupun BUPDA.
“Inilah nanti sebaiknya kalau bisa diinventaris dengan bagus. Bumdesnya bergerak apa, koperasi merah putihnya bergerak apa, dan BUPDA-nya bergerak apa. Kalau di desa sekarang yang paling getol itu kan LPD. Saya harapkan teman-teman gerakkan koperasi ini menggarap sektor riil ini. Seperti buka retail. Retail itu kan termasuk bikin minimarket, supermarket. Kooperasi, Bumdes harus berani ngambil itu. Sehingga berbicara tentang apa yang kita bicarakan ini, tentang pembatasan toko berjejaring, tidak perlu kita terlalu pusing. Regulasinya ada. Tinggal bagaimana kita menggerakkan lembaga ekonomi desa ini untuk mengambil peran itu,” ujarnya. (Ketut Winata/balipost)










