
PU’ER YUNNAN, BALIPOST.com – Dua kota tua Mohei dan Nakoli di Pu’er Yunnan secara khusus dijaga dan direvitalisasi oleh pemerintah dengan melibatkan secara utuh masyarakat setempat. Tujuannya, agar Jalur Kuda Teh Kuno dapat kembali dijejak ulang sekaligus menjadikannya sebagai kawasan wisata yang memadukan antara pertanian, budaya teh dan pelestarian lingkungan.
Menjadi kesempatan yang berharga bagi rombongan delegasi dari Bali atas undangan Pemerintah Provinsi Yunnan untuk mengunjungi kedua Kota tua tersebut, Rabu (15/10).
Nakeli telah ditetapkan sebagai kawasan wisata unggulan sejak Desember 2009, setahun setelah Wakil Presiden Xi Jinping, yang kini menjadi presiden negara berpenduduk lebih dari 1,2 miliar jiwa ini, berkunjung.
Selama bertahun-tahun kemudian, kota tua yang berada di pegunungan ini, menyandang sebagai salah satu dari 30 desa paling menawan di Pu’er.
Namun gempa kuat yang sempat mengguncang provinsi Yunnan di 2014, menghancurkan banyak bangunan, sehingga pemerintah harus membangun kembali kota tua berpenduduk 266 jiwa ini.
Memasuki gerbang kota kuno Nakoli, pengunjung harus menapaki jalan selebar sekitar 4 meter yang dilapisi batu alam ini dengan berjalan kaki. Tidak ada tiket masuk.
Di kiri kanan, penduduk setempat berjualan berbagai barang mulai dari makanan hingga pernak pernik. Yang paling khas tentu saja teh yang telah diolah dengan cara tradisional yang dikenal sebagai Teh Pu’er.
Tidak ada pedagang yang agresif menjajakan dagangannya. Hanya sesekali teriakan kecil mengundang pengunjung untuk mampir melihat-lihat.
Memang daya tarik Nakoli adalah suasana pedesaan yang berhawa sejuk dan jalan yang dilapisi batu alam tertata nampak kokoh dan tentu saja Teh Pu’er yang dikenal dunia bercita rasa khas dan berkhasiat sebagai obat.
Teh pu’er diolah melalui proses fermentasi daun teh Camellia sinensis dari provinsi Yunnan, Tiongkok, yang dapat bertahan bertahun-tahun hingga puluhan tahun. Seperti minuman anggur, semakin lama disimpan rasanya makin nikmat dan khasiatnya juga makin kuat.
Warna teh hitam padat umumnya dikemas pipih bundar. Semakin lama tahun pembuatannya, semakin mahal harganya.
Proses ini melibatkan pemetikan daun, penjemuran, pengeringan (pan-fried atau dengan rotary kiln), dan fermentasi, yang dapat dibagi menjadi dua metode utama: mentah (raw/sheng) dan matang (ripe/shou).
Teh pu’er matang menggunakan metode percepatan fermentasi dengan penambahan kultur bakteri, sedangkan teh pu’er mentah mengalami fermentasi alami seiring waktu penyimpanannya.
Suasana yang hampir sama juga dapat ditemui di kota tua Mohei di Kecamatan Ning’er. Namun di Mohei, jalanannya lebih lebar dan kendaraan roda dua dan empat milik penduduk setempat sering berlalu lalang.
Sedangkan di sisi kiri kanan jalan lebih tertata lengkap dengan taman-taman kecil dan got kecil yang mengalirkan air jernih.
Kesamaan lain dari Nakoli dan Mohei adalah konsep pengembangan pariwisatanya yang terencana baik dengan melibatkan penduduk secara penuh. Mereka menyebutnya sebagai konsep “pembangunan bersama, tata kelola bersama dan pemanfaatan bersama”.
Penduduk hidup dari bertani, mengolah teh dengan teknik kuno yang diwariskan sejak berabad-abad lalu dan langsung menjualnya kepada pengunjung.
Kisah tentang Jalur Kuda Teh diperkirakan ada sejak era Dinasti Tang ( 671-907 masehi) dan berakhir ketika perang dunia II dan terbangunnya jalan-jalan modern, adalah daya tarik khusus yang dikemas dengan baik.
Narasi Jalan Kuda Teh Kuno ini langsung membawa imajinasi calon pengunjung ke kisah penuh perjuangan para pedagang teh dengan kuda-kudanya yang harus melalui jalur pegunungan terjal dan penuh tantangan.
I Wayan Sukarata, Perbekel Senganan Penebel Tabanan yang ikut dalam rombongan melihat konsep wisata di Mohei dan Nakoli mirip seperti di Penglipuran Bangli. “Mungkin konsep pariwisatanya mirip seperti di Penglipuran Bangli. Sebuah kawasan desa yang dijaga keunikannya sebagai daya tarik. Hanya saja bedanya di Penglipuran ada tiket masuk, sementara di sini gratis,” ujarnya.
Sukarata berharap ada banyak lagi desa-desa wisata yang dapat dikembangkan di Bali dengan konsep yang tertata melibatkan secara penuh penduduk. Tantangannya adalah bagaimana mengemas daya tarik dengan tat kelola berkelanjutan.
Kuncinya mungkin terletak pada konsep “perencanaan bersama, tata kelola bersama dan pemanfaatan bersama”. Pendapatan bagi pemerintah dari objek wisata bukan dari tiket masuk, melainkan dari kesejahteraan penduduk di desa wisata itu yang terus meningkatkan. (Nyoman Winata/balipost)