Seniman mementaskan pertunjukan seni bertajuk Shangrila - Dynamic Yunnan. (BP/ata)

KUNMING, BALIPOST.com – Yang Liping, seniman tari sekaligus koreografer dari suku minoritas Bai Yunnan, dengan jenius memadukan seni tradisional dan modern menjadi sebuah pertunjukan seni bertajuk Shangrila – Dynamic Yunnan.

Melukiskan tentang perjalanan hidup manusia menghadapi berbagai tantangan berdasarkan berbagai legenda suku-suku minoritas di Yunnan, pertunjukan berdurasi 1,5 jam ini begitu menggetarkan sekaligus menghanyutkan.

Delegasi dari Bali yang terdiri dari sejumlah perbekel, lurah dan bendesa atas undangan Pemerintah Provinsi Yunnan mendapatkan kesempatan menyaksikan pertunjukan yang dipentaskan di Teater Seni Yunnan di Kota Kunming ini, Senin (13/10) malam. Dynamic Yunnan memenangkan lima penghargaan utama di National Lotus Awards, termasuk Penghargaan Emas untuk Tari Spektakuler, Koreografi Terbaik, dan Penampil Wanita Terbaik.

Yang Liping menghabiskan waktu bertahun-tahun melakukan riset dan mengunjungi desa-desa terpencil, tempat 26 suku minoritas di Yunnan bermukim. Yang pula yang memilih lebih dari 60 petani yang memiliki bakat menari dan menyanyi.

Secara keseluruhan Dynamic Yunnan dibagi menjadi 6 babak mulai dengan prolog, dilanjutkan dengan babak tentang matahari, babak tentang bumi, babak tentang kampung halaman, babak tentang perjalanan suci dan ditutup dengan epilog.

Para penari yang dipilih Yang Liping dari desa-desa kecil di Yunnan ini nampak begitu menjiwai setiap tarian yang dibawakan. Tata panggung, suara dan lampu benar-benar yang digarap dengan sangat profesional menjadikan pertunjukan dengan tiket masuk 200 hingga 520 Yuan atau setara Rp465 ribu hingga Rp1,2 juta ini tidak menyisakan waktu bagi penonton untuk merasa bosan.

Baca juga:  Siapkan Regu Berprestasi Tinggi, Kwarcab Badung Gelar Lomba Tingkat III

Drum Jadi Simbol Suci

Dalam babak tentang matahari, para penari dengan apik dan penuh energi memainkan alat musik drum. Hampir semua suku-suku minoritas di Yunnan menjadikan drum bukan saja alat musik melainkan juga simbol suci yang melambangkan penciptaan bumi dan manusia dari alat genital laki-laki dan perempuan.

Karena itulah, orang-orang suku minoritas Wa di Yunnan ketika akan membuat drum selalu diawali dengan ritual suci. Simbol laki-laki dan perempuan ini juga digambarkan sebagai pasangan matahari dan rembulan.

Dentuman puluhan drum besar dan kecil yang dipukul dengan irama indah penuh semangat menghasilkan suara yang benar-benar menggetarkan.

Babak kisah tentang bumi diawali dengan tarian magis karya Yang Liping, “Spirit of Peacock” yang dibawakan dengan sangat menghanyutkan tentang burung merak. Spirit of Peacock merupakan karya orisinal Yang Liping, yang membuatnya terkenal pada tahun 1986.

Gerakan sang penari yang ditampilkan dalam siluet bulan purnama begitu menjiwai sehingga sangat indah. Dalam kepercayaan kuno China, bulan baru (purnama) memang menggambarkan dimulainya kehidupan baru.

Mungkin karena itulah tarian magis Spirit of Peacock dengan siluet bulan purnama dilanjutkan dengan tarian Huayao dari suku Yi yang penuh energi dan keriangan sebagai wujud kehidupan petani yang bergairah menyambut kehidupan baru penuh makna.

Baca juga:  Rumah Tradisional Bali di Batuan

Warna warni Penambah Suasana Semangat

Suara melengking nyanyian para penari wanita mengiringi tarian yang energik. Kostum penari Suku Yi yang unik warna warni menambah suasana penuh semangat.

Kegembiraan terus berlanjut dalam babak kisah tentang kampung halaman. Menggambarkan kehidupan remaja putra dan putri yang akan menginjak usia dewasa di mana mereka akan menjalani kehidupan berumah tangga.

Saat di mana mereka mulai mencari pasangan hidup diawali dengan masa-masa penuh gairah. Penari wanita dan pria dengan penuh energi menggambarkan bagaimana kehidupan akan menjadi bermakna ketika manusia menjalani kehidupan menikah dan menghasilkan keturunan yang akan menjaga keberlangsungan kehidupan di bumi.

Di akhir babak ini dua penari menunjukkan dalam adegan dimana seorang penari pria berusaha dengan susah payah menggendong seorang penari wanita yang secara komedi menunjukkan tentang bagaimana beratnya hidup berumah tangga.

Ketika yang pria akhirnya lelah menggendong hingga terjatuh, penari wanita mengambil alih, ia lah yang menggendong penari pria.

Kisah Perjalanan Suci

Tarian dan iringan penuh makna religius dan spiritual muncul dalam babak kisah perjalanan suci. Bahwa kesadaran dan kerinduan kepada sang pencipta merupakan perjalanan berikut yang harus dijalani oleh umat manusia.

Baca juga:  Kaul Negeri dan Abda'u: Tradisi Sakral Idul Adha di Tulehu, Maluku Tengah

Makna-makna spiritualitas dibawakan melalui tarian yang melambangkan kehidupan spiritual kaum yang hidup di dataran tinggi Tibet dimana kepercayaan Budis masuk ke negeri China.

Ada tiga tarian yang dibawakan dalam babak ini yakni Tibetan Dance, Praying Wheel dan Praying Stone. Menggambarkan bagaimana manusia memenuhi rasa kerinduan kepada sang pencipta melalui perjalanan suci dengan menundukkan kepala bahkan menelungkupkan badan ke tanah tanpa peduli musim, seolah-olah ingin mengukur setiap langkah menuju kesadaran tertinggi. Di ujung akhir perjalanan suci para peziarah mendaki gunung suci mereka menemukan surga yang mereka impikan.

Klimaks pertunjukan yang telah dipentaskan hampir 7000 kali di China dan sejumlah negara lain adalah penampilan Spirit of Peacok yang lebih nyata, bukan lagi dalam adegan siluet bulan purnama. Kembali gerakan magis sang penari seolah-olah membius penonton.

Balutan kostum putih sang penari dengan detail gerak tari yang indah dan ritmis ini berhasil membawa imajinasi penonton kepada Burung Merak yang merupakan burung suci bagi Suku Dai. Tata cahaya, alunan musik dan dukungan sejumlah properti untuk Spirit of Peacok dalam babak epilog ini menjadikan pertunjukan yang telah mendapatkan sejumlah penghargaan ini, sempurna. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN