Sebagian sawah beralih menjadi kompleks pertokoan dan perumahan. (BP/Istimewa)

Oleh I Gustu Ayu Agung Yasinta Devi dari SMA Negeri 1 Melaya

Desa Nusasari di pagi hari pernah menghadirkan keheningan yang hidup: desir angin di antara daun pisang, kilau embun yang menempel di pucuk padi, dan suara gemericik air irigasi subak yang mengalun seperti kidung dari perut bumi. Lanskapnya adalah lukisan alam. Hamparan hijau membentang sejauh mata memandang, dihiasi caping-caping yang bergerak pelan di antara rimbunnya batang padi.

Desa ini dulu menjadi salah satu kantung pertanian yang memberi warna dan ritme hidup bagi warganya, tempat di mana tanah bukan hanya menjadi sumber rezeki, tetapi juga sumber makna hidup.

Namun, harmoni itu perlahan digantikan oleh irama baru yang terdengar lebih keras dan
tergesa. Kicau merdu suara burung kini berlomba dengan deru truk bermuatan pasir. Sementara itu, tanah basah yang dulu menjadi pijakan kaki para petani, kini telah tertutup oleh lapisan semen.

Saluran irigasi yang dulu mengalir menghidupi petak-petak sawah, kini mulai kering dan
kehilangan jalannya. Di tengah geliat pembangunan yang tak dapat dibendung, sawah-sawah di Nusasari kian menyusut, berganti wujud menjadi deretan beton pertokoan dan perumahan.

Transformasi ini bukan sekadar persoalan lanskap, tetapi persoalan jati diri: desa agraris yang
berubah arah, mungkin tanpa sempat menoleh ke belakang.

Konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun membawa implikasi yang tidak sepele.
Dalam jangka pendek, mungkin ada aliran uang dari hasil jual beli tanah, tetapi dalam jangka
panjang, ada yang jauh lebih berharga yang turut hilang, ketahanan pangan.

Indonesia, sebagai negara yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, sangat bergantung pada produksi padi dari desa-desa kecil. Jika lahan sawah terus menghilang tanpa arah kebijakan yang tegas, kita tidak hanya kehilangan sumber pangan lokal, tetapi juga menciptakan ketergantungan yang rapuh terhadap pasokan dari luar. Krisis beras yang pernah menghantui negeri ini bukan mustahil akan terulang, kali ini dengan alasan yang lebih dalam, kita kehilangan tanah untuk menanam.

Saat menyusuri jalanan kecil di Desa Nusasari, mata saya tertuju pada sosok pria paruh
baya yang tengah membalik tanah di sebidang sawah kecil yang masih tersisa. Topi caping yang menaungi kepalanya tak mampu menyembunyikan garis-garis kerut yang bercerita tentang kerasnya perjuangan mengemban tugas sebagai petani.

Dengan hati-hati saya mendekat, dan ia menyambut dengan senyum ramah yang hangat. Dialah I Made Wandra, lelaki berusia 58 tahun yang telah puluhan tahun hidup berdampingan dengan tanah, musim, dan sawah yang menjadi denyut nadi desa ini.

Kami berbincang sebentar di tepi pematang, di antara batang-batang padi yang masih
bertahan di tengah derasnya pembangunan. Di sampingnya tergantung sabit tua yang tersandar pada bambu penyangga gubuk kecil, seolah menjadi penanda masa lalu yang terus mengawasi hari ini. “Dulu sebelum matahari naik, saya sudah di sawah,” katanya pelan, seolah sedang membisikkan kenangan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang pernah menghidupi tanah.

“Ada kebahagiaan sendiri melihat padi menguning. Itu seperti melihat anak sendiri tumbuh besar,” ucapnya sambil menebar pandangan ke arah padi-padi yang sudah siap dipanen.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Made selalu mencari buruh untuk memanen padinya.
Walaupun ia memiliki 2 orang anak laki-laki, tak seorang pun dari anaknya yang mengikuti
jejaknya. “Memang dulu sewaktu kecil, anak-anak kerap ikut ke sawah, bermain lumpur sambil belajar menanam padi. Namun seiring waktu, mereka tidak ada yang mau jadi petani,” tuturnya.

Baca juga:  Sidang Akbar Mahasiswa Unud, Kodam IX/Udayana Belum Terima Undangan

“Mereka bilang, hasil dari sawah tidak cukup untuk hidup layak. Mau menikah, bangun rumah,
semua butuh uang cepat. Jadi yang satu lebih pilih kerja di proyek dan satunya lagi bekerja di luar negeri,” tutur Made dengan nada yang tak sepenuhnya menyalahkan.

Ia paham, dunia telah berubah. Namun, memahami bukan berarti tidak merasa kehilangan.

Akhirnya, karena tak ada yang mau mewarisi, Made terpaksa menjual sebagian besar
sawahnya. Meski awalnya berdalih sebagai pilihan rasional, pada akhirnya ia mengaku bahwa
hasil penjualan itu digunakan sebagai modal agar sang anak bisa bekerja ke luar negeri.

Kini, yang ia sisakan hanya beberapa are. Itu pun untuk menemani masa tuanya agar tidak benar-benar kesepian.

Baginya, saat anak-anaknya sudah memiliki kehidupan masing-masing, ia ingin menghabiskan usia senjanya dengan tetap bekerja mengurus sawah yang masih tersisa. Di sanalah,
di petak kecil itu, ia menabur benih harapan untuk hari tuanya nanti. Ia ingin gemerisik padi dan embusan angin tetap setia menjadi teman masa tuanya.

Musim panen sudah di depan mata, ibarat fajar yang merekah di ufuk timur, membawa
harapan setelah berbulan-bulan berjibaku dengan lumpur dan terik matahari. Namun, di wajah
Made, cahaya itu tertahan mendung.

Matanya yang sayu menyiratkan kegelisahan yang tak mampu disembunyikan, seperti petani yang menanti hujan di langit yang abu-abu. Bukan hasil panen yang ia ragukan, karena bulir-bulir padinya menguning indah laksana emas yang siap dituai, melainkan nasib dari hasil jerih payah itu di pasar nanti. Harga padi yang naik-turun tak ubahnya ombak di lautan, tak bisa ditebak, hanya bisa dihadapi dengan pasrah.

Di zaman yang serba digital ini, menjadi petani ibarat menapaki jalan setapak yang
semakin ditinggalkan, terjal, sepi, dan penuh kerikil tajam. Sementara dunia berlomba mengejar layar dan sinyal, cangkul dan tanah justru dianggap simbol ketertinggalan.

Tak heran jika generasi muda enggan melirik sawah, karena jadi petani kini tak lagi menjanjikan seperti cerita masa lalu yang sarat panen dan syukur. Bagai menanam padi di musim kemarau, harapan itu ada, tapi perjuangannya tak main-main. Meski begitu, bagi segelintir yang masih bertahan seperti Made, menjadi petani bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa, warisan dari tanah, keringat, dan waktu.

Di mata sebagian masyarakat, pertanian masih seperti kain lusuh yang tak layak dipajang
di etalase kemajuan. Profesi mulia ini kerap dipandang sebelah mata, seolah hanya urusan
mencangkul, berkotor-kotor, dan bergelimang lumpur semata. Padahal, tanpa petani, dapur tak akan berasap dan piring takkan terisi.

Stigma bahwa bertani itu “jorok dan miskin” masih membayangi seperti kabut tebal di pagi hari menutupi kenyataan bahwa di balik tanah yang digarap, ada ilmu, strategi, dan ketekunan luar biasa. Ironisnya, di negeri yang subur bak zamrud di khatulistiwa, mereka yang menjaga nadi pangan justru kerap diposisikan paling pinggir dalam roda pembangunan negeri.

Dunia pertanian kita tengah menghadapi krisis senyap, krisis regenerasi. Sawah-sawah
yang dulu riuh oleh canda tawa para pemuda kini kian sepi, meninggalkan tangan-tangan renta, seperti Pak Made yang tetap setia menggarapnya.

Baca juga:  Petani Didorong Olah Kopi ke Sentra IKM

Generasi muda, yang sejatinya menjadi tumpuan harapan, justru enggan turun ke ladang. Bertani dianggap tak keren, tak menjanjikan, bahkan tak layak dibanggakan di era yang serba instan ini. Padahal, seperti matahari pagi yang membawa harapan baru, anak muda sejatinya adalah kunci keberlanjutan pertanian.

Tanpa mereka, masa depan sektor pangan bisa layu sebelum berkembang. Maka tak heran kini, mayoritas petani kita berusia di atas 45 tahun, dan jika tak ada yang menggantikan, siapa lagi yang akan menanam benih untuk negeri ini?

Di balik semangkuk nasi yang tersaji di meja, ada kisah panjang yang tak selalu adil, kisah
tentang rantai tata niaga yang sering kali menjebak petani di ujung paling rapuh. Persis seperti
kekhawatiran yang dirasakan Made saat panen tiba.

Tak jarang hasil jerih payah petani justru dijual dengan harga yang tak sebanding dengan peluh yang mengucur dan risiko yang ditanggung, mulai dari gagal panen hingga cuaca yang tak bersahabat. Seperti tikus mati di lumbung padi, para petani justru kerap menjadi pihak yang paling sedikit menikmati hasil dari kerja kerasnya.

Sementara keuntungan lebih banyak mengalir ke tangan para tengkulak dan distributor di hilir,
petani hanya menerima sisa yang tak seberapa. Kesenjangan ini bukan sekadar angka, ia adalah luka yang terus menganga di tubuh pertanian Indonesia.

Maka tak heran jika “bertani” kerap menjadi pilihan terakhir, bukan karena tak penting,
tapi karena terlalu sering diperlakukan tak penting. Di tengah derasnya arus modernisasi dan gemerlap profesi kota, bertani dianggap sebagai jalan sunyi yang hanya dilalui saat semua pintu lain tertutup. Ketika pendidikan tak tercapai, keterampilan tak memadai, dan peluang kerja lain tertutup, barulah ladang dan sawah dilirik.

Padahal, jika dilihat lebih dalam, bertani bukan sekadar mencangkul tanah, tapi merawat kehidupan dari akarnya. Ironisnya, pekerjaan yang menopang perut bangsa justru dipilih karena terpaksa, bukan karena bangga. Ini bukan sekadar persoalan pilihan karier, tapi cermin dari carut-marutnya penghargaan terhadap profesi paling tua di dunia ini.

Alih Fungsi Lahan Sawah

Tak berhenti pada rendahnya penghargaan terhadap profesi petani, luka lain yang tak kalah
perih adalah alih fungsi lahan sawah yang kian masif. Dibungkus rapi dengan narasi kemajuan dan pembangunan, sawah-sawah subur pelan-pelan berubah menjadi deretan beton, pabrik, dan perumahan.

Di balik itu, terselip dinamika sosial yang rumit, tak jarang petani didesak menyerah oleh kekuatan modal dan pengaruh. Di tengah desakan ekonomi, ditambah iming-iming harga
tinggi, janji manis, bahkan ancaman yang tak kasat mata, mereka dipaksa melepaskan tanah
warisan leluhur.

Ada juga yang terjebak dalam permainan manipulasi legalitas, hingga akhirnya tak berkutik. Seperti tumbuhan yang dicabut dari akarnya, petani kehilangan bukan hanya lahan, tapi juga identitas, sejarah, dan masa depannya.

Made pun akhirnya menjadi salah satu dari sekian banyak petani yang tergiur menjual
sawahnya. Kini, lahan yang dulu menghijau setiap musim tanam itu telah berubah menjadi deretan bangunan permanen, kompleks pertokoan dan perumahan yang ramai, tapi sunyi dari jejak lumpur dan gemerisik padi.

Tempat di mana dulu ia menanam harapan, kini menjadi saksi bisu bagaimana tanah subur perlahan berganti peran dengan dalih “pembangunan.” Fenomena ini mencerminkan lebih dari sekedar perubahan fisik, namun merupakan pergeseran nilai, budaya, dan arah pembangunan yang mengabaikan akar tempat manusia pernah menanam hidupnya.

Baca juga:  Keteladanan Gatotkaca

Lebih dari sekadar perubahan sosial, hilangnya sawah membawa dampak nyata yang
menyentuh langsung aspek pangan dan lingkungan. Ketika lahan-lahan produktif terus menyusut, ketahanan pangan pun ikut terancam, ibarat memotong akar dari pohon yang masih berdiri.

Produksi beras menurun, sementara kebutuhan terus meningkat, memaksa negara menggantungkan perut jutaan rakyat pada pasokan dari luar negeri. Ketergantungan ini bukan hanya rapuh, tapi juga mahal, menempatkan bangsa dalam posisi rawan saat gejolak global datang. Padahal, selama ini sawah bukan hanya sumber pangan, tapi juga simbol kemandirian dan napas kehidupan bagi banyak desa di negeri ini.

Made menyadari betul bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Ketika tak satu pun dari anak-
anaknya berminat melanjutkan jejaknya sebagai petani, ia hanya bisa pasrah, meski hatinya berat. Namun, di tengah rasa kehilangan itu, ia tetap berusaha menjaga sisa sawah yang ada, sepetak kecil warisan yang belum tergadai oleh himpitan ekonomi.

Baginya, sawah itu bukan sekadar lahan, tapi penjaga kenangan, tempat ia pernah menanam harapan, dan kini menjadi satu-satunya yang tersisa agar hidupnya tetap terikat pada tanah yang telah menua bersamanya. Ia tahu, jika itu pun sampai terjual, maka lenyaplah sudah penghubung terakhir antara dirinya dan dunia yang dulu ia cintai sepenuh hati.

Mungkin dunia pertanian masih memiliki harapan, jika pemerintah benar-benar peduli
pada nasib para petani. Sudah saatnya perhatian pada sektor ini tidak berhenti di tataran wacana, melainkan diwujudkan dalam kebijakan nyata yang berpihak pada mereka yang setia menjaga tanah.

Agar orang-orang seperti Pak Made tidak lenyap bersama surutnya sawah dan senyapnya
ladang. Mereka bukan sekadar pelaku ekonomi, tapi penjaga pangan, pewaris budaya, dan penyangga kehidupan bangsa.

Tanpa keberpihakan yang jelas, petani seperti Pak Made hanya akan menjadi bagian dari cerita masa lalu. Dan saat itu terjadi, kita kehilangan lebih dari sekadar lahan, kita kehilangan jati diri bangsa yang tumbuh dari tanahnya sendiri.

Desa Nusasari, tempat Pak Made tumbuh, adalah cerminan dari ribuan desa di Indonesia
yang menghadapi permasalahan serupa, diapit antara arus modernisasi dan warisan agraris yang mulai tergerus. Di sana, kegelisahan petani, alih fungsi lahan, dan krisis regenerasi bukanlah kisah tunggal, melainkan potret bersama dari desa-desa yang pelan tapi pasti kehilangan wajah aslinya.

Nusasari hanyalah satu titik di peta, tapi suaranya menggema mewakili banyak yang tak terdengar. Jika nantinya tak ada satu pun yang tergerak untuk memperbaiki kerusakan dalam sistem pertanian kita, mungkin kelak sawah-sawah itu hanya akan tinggal cerita, sekadar fragmen dalam ingatan, dikenang lewat foto usang dan cerita orang tua.

Tanah yang dulu hidup oleh cangkul dan gemerisik angin akan tergantikan oleh beton bisu dan deru kendaraan. Dan saat itu tiba, kita tak hanya kehilangan lahan, tapi juga kehilangan jejak tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.

(Artikel ini merupakan pemenang lomba feature dalam Bali Journalist Week 2025 tingkat SMA/SMK/MA atau sederajat yang digelar oleh Universitas Udayana)

BAGIKAN