Gabungan berbagai unsur gotong royong membersihkan kawasan pasar dan Tukad Badung, Denpasar, Sabtu (13/9). Banjir pada Rabu (10/9) yang melanda Denpasar sekitarnya merendam pasar terbesar di Kota Denpasar dan merobohkan sejumlah bangunan yang ada di pinggir sungai. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki 162 daerah aliran sungai (DAS). Sebanyak 21 persen atau 34 di antaranya dalam kondisi kritis. Hal ini diungkap oleh Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Dr. Ir. I Gusti Agung Putu Eryani., MT., Rabu (17/9).

Menurut Eryani, data Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida menyebutkan dari 162 DAS yang bermuara ke laut di Bali, 21 persen di antaranya masuk kategori kritis. Termasuk DAS Ayung. “Untuk DAS Ayung saja, luasan hutan yang tersisa sekitar 3 persen dari total DAS-nya yang seluas ± 49.500 hektare, sehingga DAS Ayung dikategorikan kritis dalam hal tutupan hutan,” ungkapnya.

Kondisi DAS yang kritis ini, menurut Eryani menjadi salah satu penyebab banjir bandang yang melanda wilayah Bali pada 10 September 2025 lalu. Di samping juga disebabkan faktor intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang lama.

Dikatakan, intensitas hujan yang jatuh pada 9-10 September 2025 sama dengan hujan 1 bulan. Ditambah kondisi lingkungan di Bali yang semakin rusak.

Kebanyakan masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai menganggap bahwa sungai adalah “teba” sebagai tempat pembuangan sampah. Baik itu rumah tangga, restoran, maupun hotel.

Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar pemerintah membuat aturan hukum bahwa semua rumah atau bangunan yang ada di daerah aliran sungai harus menghadap ke sungai, bukan membelakangi sungai. Dengan demikian, akan mengubah kebiasaan masyarakat yang menganggap sungai itu teba.

Baca juga:  Perbekel Pelaga Dijerat Pasal Berlapis, Ini Alasannya Ditahan

Sebab, apabila rumah menghadap sungai, maka sungai akan dijaga keindahan dan kebersihannya. Selain itu, Eryani juga menyoroti aturan sempadan sungai harus lebih ditegaskan lagi.

Untuk sempadan sungai dan pantai seharusnya 100 meter. Tetapi banyak daerah menetapkan kembali sesuai dengan kondisi daerahnya yang dianggap aman bisa mengurangi dari 100 menjadi 50 meter. Dengan alasan masing-masing sungai memiliki morfologi yang berbeda-beda.

“Kalau dulu di daerah aliran sungai kebanyakan ditanami pohon bambu, karena bambu itu bisa menyerap air dan menyimpan air sampai ke batangnya. Jadi tidak semua air hujan terbuang mengalir ke sungai tapi disimpan pohon bambu. Sekarang pohon bambu di pinggir sungai dibabat karena pembangunan yang tidak mematuhi aturan,” ungkapnya.

Mengantisipasi berulangnya bencana banjir, pemerintah melalui dinas terkait semestinya rutin merawat sungai karena pasti terjadi sedimentasi. “Setiap mau musim hujan semestinya pemerintah melalui DLHK, DKP dan PU harus menggelontorkan atau mengeruk semua sampah dan sedimen di DAS. Masyarakat  juga bisa gotong royong membersihkan sungai di lingkungannya,” katanya.

Baca juga:  Saat Lebaran, Rata-rata Kenaikan Kasus di Bali Capai Belasan Per Hari

Sementara itu, Kepala Balai Hidrologi dan Lingkungan Keairan Kementerian PU, Indra Kurniawan, ST., M.Sc., mengungkapkan rekaman curah hujan dari setiap Pos Curah Hujan (PCH) dan Pos Klimatologi di Sub DAS lokasi banjir di  ali menunjukkan terjadi curah hujan dengan intensitas ringan hingga ekstrem pada 7 – 10 September 2025.

Pada 7 September 2025 tercatat pada PCH Rendang terjadi hujan dengan intensitas lebat (74 mm). Pada 8 September 2025 tercatat di PCH Rendang dan PCH Penatahan hujan dengan intensitas lebat (71-73 mm), dan pada Pos Klimatologi Ubung tercatat hujan dengan intensitas ekstrem (221 mm).

Pada 9 September 2025 di PCH Pengotan, PCH Bongancina, PCH Rendang, PCH Penatahan, PCH Tibutanggang, PCH Suwung, PCH Klungkung, PCH Melaya, PCH Bengkel, PCH BPP Pohsanten, dan Pos Klimatologi Penatih, tercatat hujan dengan intensitas lebat s/d ekstrem (93-493 mm). Pada hari kejadian banjir, 10 September 2025 tercatat pada PCH Gadungan hujan dengan intensitas sangat lebat (132 mm).

“Hujan yang terjadi pada 7-10 September 2025 menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Jembrana,” ungkapnya.

Dikatakan, berdasarkan hasil analisis perhitungan periode ulang hujan pada daerah sekitar lokasi banjir, dan dibandingkan dengan curah hujan maksimum yang terjadi, maka periode ulang curah hujan di sekitar lokasi banjir menunjukkan variasi yang signifikan.

Baca juga:  Wagub Pungut Sampah di Pantai Kuta

PCH Bongancina dan PCH Rendang (2–3 tahun), PCH Gadungan dan PCH Tibutanggang (5 tahun), PCH Klungkung (50 tahun), PCH Bengkel (100 tahun), PCH Pengotan (< 2 tahun), PCH Pohsanten (25–50 tahun), dan Pos Klimatologi Ubung (5–10 tahun).

Berdasarkan peta isohyet periode ulang 100 tahun dari Balai Teknik Bendungan (225–475 mm), curah hujan 7–10 September 2025 di PCH pada Sub DAS banjir, khususnya Pos Klimatologi Penatih, termasuk hujan dengan periode ulang lebih dari 100 tahun.

Selain itu, lokasi banjir di SubDAS Tukad Badung, SubDAS Tukad Pangi, SubDAS Tukad Dati, SubDAS Yeh Ayung, SubDAS Tukad Oos, SubDAS Tukad Unda, dan SubDAS Tukad Ijogading didominasi kondisi kelerengan datar pada titik lokasi banjir. Sedangkan pada hulu SubDAS khususnya untuk SubDAS Yeh Ayung, SubDAS Tukad Unda, dan SubDAS Tukad Ijogading di dominasi oleh kelerangan agak curam hingga curam.

Kondisi kelerengan tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya banjir di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Jembrana. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN