Sampah menumpuk di salah satu pojok jalan di Denpasar, Bali. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Masalah sampah mustahil tuntas tanpa adanya perubahan mindset masyarakat.

Penutupan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Suwung menjadi sinyal harus terjadi revolusi (perubahan secara cepat) mindset masyarakat menangani sampah.

Selama ini, kurangnya edukasi mengenai pemilahan sampah rumah tangga menyebabkan terciptanya kebiasaan yang susah diubah, sehingga kini perlu kerja keras semua stakeholder untuk mewujudkan Bali bebas sampah.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Made Rentin, mengatakan bahwa penutupan TPA Suwung untuk sampah organik ini merupakan implementasi dari Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 921 Tahun 2025 tentang Penghentian Pengelolaan Sampah dengan metode open dumping, yang harus dihentikan paling lambat 180 hari sejak diterbitkan pada 23 Mei 2025.

Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Surat Gubernur Bali Nomor B.24.600.4/3664/PSLB3PKLH/DKLH tertanggal 23 Juli 2025, yang menyatakan bahwa mulai 1 Agustus 2025, TPA Regional Suwung hanya menerima sampah anorganik dan residu. Sementara sampah organik wajib dikelola langsung dari sumbernya, baik di rumah tangga maupun di tingkat desa.

Baca juga:  I Gusti Gede Aryadi Perintis Pariwisata Tabanan Berpulang, Palebon Digelar 3 Desember

Menurut Rentin, penutupan TPA Suwung dari sampah organik merupakan hal yang tepat, mengingat sistem open dumping yang diterapkan akan semakin sulit untuk mengendalikan pencemaran lingkungan apabila tetap dilanjutkan.

Apalagi, Peraturan Menteri PUPR Nomor 3 Tahun 2013 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa sampah yang masuk ke TPA hanya sampah residu setelah melalui proses 3R dan pengolahan.

“Langkah yang diambil Gubernur Bali untuk menutup TPA Suwung dari sampah organik merupakan salah satu cara untuk mengembalikan fungsi TPA sebagaimana mestinya,” tegas Rentin, Jumat (8/8).

Langkah Strategis yang Dilakukan

Setelah TPA Suwung ditutup, Rentin mengatakan ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan.

Antara lain menyamakan visi pengelolaan sampah berbasis sumber di setiap stakeholder.

Baca juga:  Sekda Adi Arnawa Imbau Penataan Aset Daerah Badung dengan Baik dan Bijak

Langkah ini bertujuan agar tidak ada perbedaan pendapat dan kepentingan pribadi, mengingat masih terdapat polemik dari setiap stakeholder.

Langkah lainnya, yaitu membentuk langkah penanganan darurat sampah organik yang dikoordinasikan dengan kota/kabupaten terkait.

Dalam jangka pendek, dilakukan penyediaan fasilitas pengolahan organik darurat seperti komposting dan penguatan infrastruktur mendesak yang sudah dibangun, seperti reaktivasi dan pengembangan TPS3R yang sudah ada.

Langkah berikutnya, yaitu menyusun rencana jangka menengah dan panjang untuk membuat sistem pengelolaan persampahan yang sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2008. Dan pengembalian fungsi TPA sebagaimana mestinya yang tercantum pada peraturan terkait

Lebih lanjut Rentin mengatakan bahwa kebijakan pemerintah pasca penutupan TPA Suwung harus berkoordinasi dengan kota/kabupaten untuk pengambilan keputusan. Ada beberapa langkah jangka pendek yang dapat diambil.

3

Seperti, penanganan darurat sampah organik dengan pembangunan fasilitas pengolahan sampah organik sederhana untuk setiap rumah.

Baca juga:  Desa Panji Olah Sampah Organik Jadi Pakan Magot

Penguatan regulasi dan sanksi tegas untuk pemilahan sampah wajib. Optimalisasi TPS3R di setiap desa/kelurahan. Serta pemantauan dan evaluasi berkala efektivitas pengelolaan sampah berbasis sumber.

Terkait tantangan pengelolaan sampah berbasis sumber, menurutnya ada beberapa faktor yang dapat menjadi tantangan pengelolaan sampah berbasis sumber. Diantaranya, kurangnya kesadaran dan lemahnya disiplin masyarakat, akibat infrastruktur pengangkutan yang belum memadai dalam mendukung pemilahan.

Keterbatasan sumber daya TPS3R baik dari SDM maupun finansial juga menjadi faktor penting dari kegagalan TPS3R, karena dapat dibayangkan satu TPS3R mengelola sampah rata-rata 20 ton dengan segala keterbatasan yang ada. Dan lemahnya koordinasi antar stakeholder.

“Berdasarkan studi kasus yang pernah saya dengar, masyarakat lemah dalam disiplin memilah sampah karena setelah diangkut, sampah dicampur kembali. Hal ini menyebabkan masyarakat menganggap tidak perlu memilah sampah karena akan disatukan kembali,” ungkapnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN