Rapat Gabungan yang digelar DPRD Bali yang membahas Raperda Bale Kertha Adhyaksa, di Kantor DPRD Bali, Kamis (7/8). (BP/Win)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali telah mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa di Desa Adat ke DPRD Bali, Rabu (6/8). Sebagai tindak lanjut, DPRD Bali pun langsung membahasnya, di Kantor DPRD Bali, Kamis (7/8).

Pembahasan Raperda ini melibatkan dan mengundang pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Bali (Gabungan seluruh Komisi), Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Kepala Kementerian Hukum RI Kantor Wilayah Bali, Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Kelompok Ahli Bidang Hukum Provinsi Bali, dan Kelompok Pakar/Tim Ahli Pimpinan DPRD Provinsi Bali.

Wakil Ketua II DPRD Bali, Ida Gede Komang Kresna Budi, yang memimpin rapat mengapresiasi inisiatif Kajati Bali dalam mendorong lahirnya perda ini. Sebab, selama ini banyak persoalan kecil di desa yang seharusnya bisa diselesaikan secara adat, justru berlarut-larut hingga ke ranah hukum formal. Sehingga, dengan Perda ini akan menjadi payung hukum agar penyelesaian bisa dilakukan di desa adat.

Baca juga:  Terkait Usulan Pembangunan PLUT, Pusat Lakukan Kunjungan ke Klungkung

Ia mencontohkan bahwa permasalahan ringan antarwarga, sengketa lahan, hingga pelanggaran tata krama adat semestinya dapat diselesaikan melalui pendekatan musyawarah mufakat berbasis kearifan lokal. Raperda ini diharapkan menjadi solusi konkrit terhadap berbagai persoalan hukum yang kerap muncul di tingkat desa adat, tanpa harus selalu membawa persoalan tersebut ke jalur formal seperti kepolisian atau pengadilan.

Sementara itu, Kajati Bali Ketut Sumadana menyampaikan bahwa ide mengenai Bale Kertha Adhyaksa telah lama ia gagas sejak menulis buku berjudul “Balai Mediasi” pada 2018, yang kini telah beredar luas dan menginspirasi pembentukan kelembagaan serupa.

“Konsep Bale Kertha ini adalah revitalisasi hukum adat yang dikolaborasikan dengan hukum nasional. Ini bukan hanya solusi lokal Bali, tapi bisa jadi model nasional. Negara-negara Eropa seperti Belanda bahkan mengadopsi sistem serupa,” ungkap Ketut Sumadana yang hadir langsung dalam rapat tersebut.

Baca juga:  Minggu Jalan di Sanur Ditutup Mulai Pukul 3 Hingga 12, Ini Sebabnya

Ia menambahkan bahwa Kejaksaan telah lama memiliki program Jaksa Garda Desa, yang salah satu misinya adalah memberikan pendampingan hukum dan memastikan pembangunan desa berjalan tanpa penyimpangan. Namun yang belum ada adalah wadah penyelesaian konflik di tingkat desa.

“Dengan Bale Kertha Adhyaksa, kita ingin menciptakan ruang penyelesaian perkara secara damai, cepat, dan murah tanpa mengorbankan rasa keadilan masyarakat. Ini bisa mengurangi beban perkara di kejaksaan dan pengadilan,” tambahnya.

Dari sisi adat, dukungan penuh disampaikan oleh Sekretariat MDA Bali, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. Ia menilai Raperda ini akan memperkuat posisi desa adat dalam menyelesaikan “wicara” (sengketa adat), terlebih dengan adanya kelembagaan baru yang mengisi kekosongan struktural selama ini.

“Kami di desa adat sebenarnya sudah punya sistem hukum acara penyelesaian wicara, seperti penyambung raya, mediasi, hingga keputusan melalui pararem. Tapi dengan hadirnya Bale Kertha Adhyaksa, akan ada penguatan kelembagaan dan sinergi dengan hukum negara,” jelasnya.

Baca juga:  Bertambah, Usulan Rumah Tangga Miskin di Negara

Ia menekankan pentingnya peningkatan kapasitas SDM di desa adat agar dapat menjalankan fungsi mediasi secara efektif dan tidak menimbulkan beban baru di tengah masyarakat. Raperda Bale Kertha Adhyaksa diyakini menjadi terobosan penting dalam menghidupkan kembali “living law” atau hukum yang hidup di masyarakat, khususnya di Bali. Tidak hanya sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi desa adat, tetapi juga sebagai upaya mengurangi beban negara dalam penanganan perkara ringan yang bisa diselesaikan secara adat.

“Dengan semakin kompleksnya tantangan sosial di desa adat, serta potensi tumpang tindih antara hukum adat dan hukum negara, regulasi ini menjadi krusial. Jika disahkan, Raperda ini akan menjadi sejarah baru dalam penguatan sistem hukum berbasis budaya lokal,” tandasnya. (Ketut Winata/Balipost)

BAGIKAN