
DENPASAR, BALIPOST.com – Polemik Majelis Desa Adat (MDA) yang panas belakangan ini mendapat tanggapan dari dewan Bali dan Wakil Gubernur Bali.
Pada Rapat Paripurna ke-25 Masa Persidangan III DPRD Provinsi Bali, Senin (21/7), Fraksi Partai Golkar DPRD Bali menyoroti persoalan simpang siurnya fungsi dan kewenangan MDA khususnya menyangkut pelantikan bendesa adat terpilih.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Bali, Agung Bagus Tri Candra Arka, mengatakan tugas dan fungsi MDA Bali harus jelas. Ia meminta agar Gubernur melakukan evaluasi terkait fungsi serta tugas MDA selaku apa. “Kalau fungsi tugasnya tidak jelas ya akan merasa selalu di atas. Sedangkan yang paling atas masyarakat adat karena masyarakat adat yang memiliki parerem yang mereka buat,” ujarnya, Senin (21/7).
Pria yang akrab disapa Agung Cok ini berharap MDA Bali ke depannya benar-benar menjaga fungsi tugasnya menjadi tempat koordinasi. Ia menginginkan agar MDA dapat menjadi wadah organisasi untuk memberikan solusi jika terjadi konflik di desa adat.
Ketika disinggung apakah akan diberikan rekomendasi pencopotan jabatan pada Ketua MDA atau Bendesa Agung Provinsi Bali, ia menyatakan tidak memberikan rekomendasi tersebut.
Namun demikian, Fraksi Partai Golkar mendesak Gubernur Bali yang memiliki peran penting dalam pembinaan dan pengawasan desa adat untuk meluruskan batas-batas kewenangan MDA sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, agar kasus ini tidak berdampak luas pada masyarakat desa adat pada umumnya.
Kembali ke Roh Perda No.4 2019
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Bawa, S.H., menegaskan perlunya MDA Bali segera kembali ke roh Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Ia menilai praktik pengelolaan kewenangan di tubuh MDA Bali saat ini telah melenceng dari tujuan utama lahirnya Perda tersebut.
“Kalau MDA Bali mau benar, kembalilah ke Perda! Di konsideran dan ketentuan umum Perda 4/2019 sudah sangat jelas tujuan dibentuknya MDA untuk memperkuat eksistensi desa adat, bukan justru menggerogotinya demi ambisi jabatan,” tegas Bawa, Selasa (23/7).
Sebagai bentuk tanggung jawab moralnya sebagai wakil rakyat, Bawa memaparkan tiga solusi konkret untuk menuntaskan persoalan di internal MDA Bali. Pertama, MDA Bali wajib kembali patuh pada Perda 4/2019. Seluruh kebijakan dan kegiatan MDA Bali harus merujuk pada spirit Perda, terutama dalam konsideran dan ketentuan umum yang menegaskan bahwa tujuan MDA adalah memperkuat desa adat, bukan mengambil alih kewenangan desa adat.
Kedua, revisi AD/ART untuk internal saja. Menurut Bawa, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MDA Bali hanya boleh mengatur kebutuhan internal organisasi MDA. Tidak boleh ada pasal yang seolah-olah melegitimasi pengalihan kewenangan desa adat ke MDA.
“Poin penyerahan sebagian kewenangan desa adat ke MDA itu tidak pernah dibahas terbuka. Itu saya sebut pengkhianatan terhadap roh Perda 4/2019,” tegasnya.
Ketiga, berhenti mengukuhkan Bendesa Adat dengan SK MDA. Bawa menekankan bahwa praktik pengukuhan bendesa adat dengan Surat Keputusan (SK) MDA harus dihentikan. Pengesahan bendesa adat adalah hak mutlak paruman desa adat, bukan MDA.
“MDA itu forum, pasikian. Kalau sekarang malah SK-kan bendesa, ini kan sudah intervensi. Hentikan!,” tegasnya.
I Wayan Bawa juga mendorong agar struktur MDA Bali dikembalikan ke jalur semangat awalnya diisi oleh para bandesa aktif di desa adat masing-masing. Jika seorang bandesa aktif terpilih menjadi pengurus MDA, maka masa jabatannya di MDA pun menyesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan di desa adat.
“Ini agar MDA tetap relevan sebagai forum bandesa. Jangan sampai diisi orang-orang yang sudah tidak lagi punya legitimasi di desa adat, tapi duduk di MDA hanya demi posisi,” ujarnya.
Bawa mengungkapkan bahwa pihaknya melalui Komisi I DPRD Bali akan segera memanggil pihak-pihak terkait. Langkah ini diambil setelah menerima berbagai aspirasi dari masyarakat adat yang resah atas praktik pengelolaan MDA yang dianggap menyimpang.
“Saya sudah komunikasi dengan Pak Man Parta (Anggota DPR RI, Nyoman Parta) dan rekan-rekan. DPRD akan segera panggil pihak-pihak terkait untuk klarifikasi. Kami ingin MDA Bali kembali pada jalurnya, sesuai spirit penguatan desa adat, bukan malah mematikan otonomi desa adat,” tegas Bawa.
Ia berharap langkah tegas ini menjadi sinyal bahwa pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat adat tetap satu suara untuk menjaga marwah dan kehormatan desa adat di Bali. (Ketut Winata/balipost)