Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Warga Negara Asing (WNA) diduga banyak yang menyalahgunakan izin usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Bali. Hal ini diungkap oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan usai melakukan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kondisi ini pun disoroti legislator. Salah satunya, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, Jumat (22/8).

Ia mengaku prihatin atas penyalahgunaan izin usaha ini. Menurutnya, seharusnya izin untuk skala UMKM untuk masyarakat lokal, tetapi diberikan kepada perusahaan penanaman modal asing (PMA).

Bagi Rai Mantra, aturan investasi PMA dibutuhkan di provinsi lain. Tetapi di Bali tidak relevan.

Salah satunya harus dievaluasi adalah sistem perizinan online single submission (OSS). “OSS ini perlu dievaluasi, investasi tidak dikendalikan, kita akan dikendalikan investasi,” sambung Rai Mantra.

Ia pun menyarankan pembentukan task force atau gugus tugas. “Karena sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat Bali kalau tidak no more Bali,” tegasnya.

Baca juga:  Geliatkan UMKM, Potensi Perajin akan Didata

Dalam audit yang dilakukan DEN, dari 39,7 persen izin yang diperiksa tidak memenuhi persyaratan usaha. Kondisi ini mematikan UMKM lokal.

Rai Mantra menilai pemerintah sangat kecolongan. Seharusnya ada penindakan untuk mengendalikan.

Sebagai Komite III di DPD RI membidangi pariwisata, ia mengaku sudah bertemu dalam rapat kerja dengan Menteri Pariwisata pada April lalu.

Anggota DPD RI perwakilan Bali ini menyampaikan kondisi yang terjadi. “Salah satunya menyangkut tentang UMKM yang menjadi sorotan masyarakat lokal karena harus bersaing dengan orang asing,” ungkap Rai Mantra.

Lebih jauh dijelaskan, UU Nomor 35 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) mengatur hal tersebut, sehingga terjadi persaingan antara lokal dan warga negara asing (WNA). Salah satu yang dianggap biang kerok adalah batasan investasi yang rendah Rp10 miliar untuk  WNA.

Sedangkan klasifikasi modal usaha sama dengan UMKM warga lokal. “Sehingga kita di Bali tidak memperoleh manfaat investasi yang berkualitas malah justru mempersempit ruang gerak masyarakat lokal karena persaingan dengan pendatang maupun WNA,” sebut Mantan Wali Kota Denpasar 2 periode ini.

Baca juga:  CAR BRI Solid di 24,54 Persen, Kemampuan Tumbuh Berkelanjutan Semakin Kuat

Rai Mantra berpandangan, rendahnya aturan nominal investasi tersebut tidak cocok diberlakukan di Bali. Justru investasi harus dikendalikan karena mengancam kondisi pariwisata budaya di Bali. “Belum lagi dengan cara-cara nominee atau atas nama orang lokal,” sentil Rai Mantra.

Bali mengusung brand culture tourism yang sejatinya menguntungkan dalam pemberdayaan masyarakat, lingkungan serta pelestarian budaya, bukan justru mendistorsi budaya dan melemahkan daya saing penduduk lokal akibat kapitalisme yang tidak dapat diatur atau dikendalikan. “Saya pernah menyampaikan masalah golden visa ini tapi masih menjadi pembahasan lebih mendalam korelasinya terhadap fenomena persaingan UMKM dan lainnya,” terangnya.

Pria yang juga Ketua Umum Alumni Universitas Udayana ini menegaskan di Bali perlu ada kekhususan dalam mengatur atau mengelola kebudayaan.

Baca juga:  Lewat Karya Kreatif, Anacaraka Beri Nafas Kehidupan pada Kain

“Modal budaya ini menyangkut investasi, keimigrasian dan lainnya agar potensi Bali yang berakar dari modal budaya tersebut dapat terpelihara dan terjaga dengan baik. Pada prinsipnya pariwisata budaya adalah pariwisata yang bukan hanya pewarisan tangible atau aset. Namun, warisan tak benda atau intangible juga termasuk. Yang terpenting makna hidup yang ada dalam nilai dan norma sehingga perlu pengelolaan secara khusus. Bukan hanya Bali, daerah lain juga yang memiliki potensi budaya sebagai aset akan sama,” beber Rai Mantra.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih juga menyoroti OSS ini. Menurutnya, yang ditekankan oleh OSS baru klasifikasi PT-nya.

Sedangkan, modal investasi Rp10 miliar itu klasifikasi usaha besar. “Tapi sayangnya, industri maupun jenis usaha yang ada di Bali itu risiko rendah. Perlu ada peningkatan basis risiko, sehingga pengawasan pemda bisa lebih baik,” sarannya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN