
DENPASAR, BALIPOST.com – UMKM di daerah seharusnya terlibat dalam rantai penyediaan bahan baku maupun pengolahan makanan. Sebab, semangat awal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yaitu tidak hanya memenuhi gizi masyarakat, tetapi juga membuka ruang ekonomi bagi petani lokal dan UMKM.
“Bila hanya segelintir Satuan Penyedia Pangan Gizi (SPPG) yang dilibatkan, ada risiko munculnya kesan eksklusivitas dan tertutupnya peluang bagi pelaku lokal lain,” kata pemerhati ekonomi dan penggiat UMKM, Dr. Luh Kadek Budi Martini, M.M. di Denpasar, Senin (29/9).
Menurutnya, kondisi ini dapat melemahkan tujuan pemberdayaan ekonomi daerah. Untuk itu, sebaiknya pemerintah memperluas cakupan dengan sistem yang lebih inklusif, misalnya melalui mekanisme seleksi terbuka atau rotasi. Petani dan UMKM bisa diberdayakan menjadi penyedia bahan baku maupun pengolah, sehingga tercipta sinergi antara peningkatan gizi dengan penguatan ekonomi lokal.
“Dengan begitu, MBG bukan hanya program kesehatan, melainkan juga motor penggerak ekonomi masyarakat,” ujar pemerhati ekonomi dari Sekolah Tinggi Bisnis (STB) Runata ini.
Belum terlibatnya UMKM dalam MBG menunjukkan adanya celah dalam desain implementasi program. Agar UMKM dapat berperan sebagai SPPG, kata Ibu Budi biasa ia dipanggil, langkah pertama adalah membuka akses partisipasi melalui sistem pendaftaran yang transparan. Mekanisme penunjukan yang jelas dan adil sangat diperlukan agar tidak menimbulkan persepsi monopoli.
Pemerintah daerah juga memiliki peran penting untuk mengatur regulasi teknis yang mendukung keterlibatan luas UMKM, sekaligus memberi pendampingan agar mereka mampu memenuhi standar kualitas makanan bergizi. Keterlibatan pemda juga bisa mencegah kesan bahwa hanya pihak tertentu yang berhak mendapat kesempatan.
Selain itu, pemerintah dapat membentuk forum komunikasi antara UMKM, SPPG, dan petani untuk menciptakan alur distribusi yang sehat. Dengan demikian, keterlibatan UMKM bukan hanya formalitas, tetapi benar-benar memberi nilai tambah bagi keberhasilan MBG.
“Transparansi, regulasi adil, dan pendampingan teknis adalah kunci agar semua pihak merasa memiliki program ini,” ujarnya.
Seberapa besar potensi UMKM sebagai SPPG?. Budi Martini menjelaskan, potensi UMKM sebagai SPPG sebenarnya cukup besar bila dilihat dari kapasitas produksi, pengalaman usaha, serta keterhubungan mereka dengan petani lokal. Banyak UMKM yang sudah terbiasa memenuhi pesanan katering, konsumsi acara, atau pasokan makanan dalam skala besar sehingga memiliki modal dasar untuk terlibat.
Kelebihan UMKM adalah fleksibilitas dalam berinovasi, kedekatan dengan bahan baku, serta kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Meski begitu, tantangan tetap ada, seperti konsistensi kualitas, standar kebersihan, serta kemampuan manajemen produksi.
“Namun, semua ini bisa diatasi dengan program pelatihan, pendampingan teknis, serta dukungan akses permodalan. Jika diberikan peluang dan dukungan, UMKM mampu menjadi penyedia layanan pemenuhan gizi yang handal,” ucapnya.
Bahkan, keterlibatan UMKM akan menciptakan efek ganda, yakni peningkatan gizi masyarakat sekaligus penguatan ekonomi lokal. Artinya, potensi UMKM sangat layak untuk dimaksimalkan sebagai mitra strategis dalam implementasi MBG.
Berdasarkan data bgn.go.id per September 2025 memuat, SPPG yang telah beroperasional secara nasional saat ini mencapai 9.638. Untuk Bali, SPPG di Denpasar mencapai 13, Badung 9, Gianyar 7, Tabanan 16, Jembaran 18, Bangli 10, Karangasem 9, Buleleng 16 dan Klungkung ada 3.
Pengamat ekonomi dari FEB Unud, Prof. I Wayan Suartana menyampaikan, MBG harus memberikan efek penggandaan yang signifikan bagi UMKM. Program ini direncanakan dan dilaksanakan dengan target berdampak yaitu hidupnya UMKM. “Kalau UMKM belum optimal dampaknya maka perlu dilakukan evaluasi dan monitoring secara detail. Umpan balik yang ada perlu ditindaklanjuti dengan perbaikan,” paparnya. (Suardika/bisnisbali)