
DENPASAR, BALIPOST.com – Penyarikan Agung MDA Bali, Dr. I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, SH, MH., di Denpasar Selasa (5/8) menanggapi petisi dari Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali (FKBHB) yang disampaikan ke DPRD Bali Denpasar, Senin (4/8).
Ia mengatakan Majelis Desa Adat (MDA) selama ini hanya melaksanakan tugas dan kewenangan yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
Munculnya penilaian kalau MDA melampaui kewenangan dinilai sebagai bentuk koreksi bersama untuk menguatkan eksistensi desa adat. MDA selalu terbuka terhadap saran dan kritik dari komponen Krama Bali untuk memperbaiki pelayanan kepada seluruh Desa-desa adat yang ada di Bali.
“Saya mewakili MDA turut hadir dalam audiensi FKBHB dengan Komisi I dan Komisi IV DPRD Bali tersebut. Telah pula menyampaikan bahwa MDA Bali selama ini hanya menjalankan tugas dan kewenangan sesuai dengan isi Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat,” tegasnya.
Diakui bahwa dalam hal penyerahan sebagian kewenangan Desa Adat kepada MDA seperti yang diatur dalam AD/ART MDA memunculkan banyak tafsir dan menjadi salah satu pokok persoalan yang dipermasalahkan sejumlah pihak. Menurut Dewa Rai, penggunaan kewenangan yang diserahkan desa adat oleh MDA selama ini lebih bersifat perbantuan bukan untuk intervensi.
Misalnya dalam hal penyusunan awig-awig dan pengadegan bendesa, MDA sebatas memberikan tuntunan. “MDA sesuai dengan Perda Desa Adat tidak pernah melakukan intervensi terhadap pemilihan Bendesa adat. Termasuk tradisi penyebutan istilah Manggala di desa adat. Kalau di desa adat bersangkutan disebut paduluan, dipersilahkan. Kalau disebut Kelian adat juga dipersilahkan. Jadi tidak wajib harus disebut bendesa adat. Tata cara pemilihan juga diserahkan ke Desa Adat. Tidak ada penyeragaman,” terangnya.
Terkait dengan adanya SK pengukuhan dari MDA terhadap Bendesa adat, Dewa Rai mengatakan hal tersebut sebagai proses administrasi untuk pengakuan oleh pemerintah terhadap keberadaan Bendesa adat yang akan memimpin desa adat yang kini telah diakui sebagai subyek hukum.
SK pengukuhan akan menjadi landasan bagi Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Bali untuk mengakui secara hukum keberadaan Bendesa sehingga sah bertindak secara hukum, misalnya dalam pencairan dana BKK. “Kami sama sekali tidak pernah melakukan intervensi terhadap proses pengadegan Bendesa adat,” katanya.
Kesan yang muncul kalau MDA melakukan intervensi menurut Dewa Rai kemungkinan karena adanya salah persepsi. Selama ini ada kasus dimana Pengadegan Bendesa adat di beberapa desa yang bermasalah sehingga menjadi wicara atau perselisihan. Wicara ini didesa adat, tegas Dewa Rai, ketika pertama kali dibawa ke MDA, selalu disarankan agar diselesaikan di desa adat masing-masing sesuai dengan awig-awig dan pararem di desa adat bersangkutan.
“Sayangnya, ada sejumlah desa adat yang tidak dapat menyelesaikan wicaranya sehingga meminta kepada MDA untuk membantu menyelesaikan. Sesuai dengan Perda, MDA membantu menyelesaikan wicara tersebut, namun tetap mengacu pada awig-awig dan pararem desa adat tersebut,” terangnya.
Pihak MDA Bali terus menekankan agar desa adat menggunakan otonominya dengan sebaik-baiknya. Jika muncul pikobet (masalah) dan wicara (perselisihan), menurut Dewa Rai mestinya dapat diselesaikan di Desa adat, jangan sampai ke MDA.
Kalau sudah diselesaikan oleh MDA, apapun keputusannya, pasti tetap ada pihak yang tidak puas lali mengungkapkannya ke publik atau menggelar demo ke MDA sehingga menjadi viral. Munculah kesan seolah-olah MDA melakukan intervensi.
Terlepas dari semua penilaian Krama Bali terhadap MDA, mantan dosen FH Unud ini mengatakan MDA selalu terbuka terhadap kritik dan saran demi menjaga dan memperkuat eksistensi desa adat di Bali. “Kami di MDA siap menerima saran dan pendapat dari manapun demi menjaga eksistensi desa adat di Bali. Termasuk petisi dari FKBHB ini,” tegasnya. (Nyoman Winata/balipost)