
SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pesta Kesenian Bali (PKB) menjadi ajang pelestarian seni budaya yang paling ditunggu-tunggu. Namun, dalam kasus penampilan seniman di PKB, memicu reaksi keras dari publik.
Salah satu seniman dari Kabupaten Klungkung Dewa Gede Alit Saputra, Jumat (6/6), mengatakan, PKB sudah menjadi ajang tahunan, dibuat untuk pengembangan seni dan budaya Bali. Meski dianggap monoton, tetapi isinya tetap dinikmati dari generasi ke generasi.
“Contohnya Gong Kebyar, setiap tahun memang selalu ada, tetapi isinya selalu berubah, selalu ada inovasi dan kebaruan. Begitu juga yang agenda lainnya. Penontonnya juga begitu, dari generasi ke generasi,” katanya.
Ketua Listibya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Kabupaten Klungkung ini, menegaskan bahwa justru yang perlu diubah sebetulnya, bukan masalah materinya. Tetapi, kurator dan penyelenggaranya ini yang monoton, karena orangnya itu-itu saja.
Dia menyebut, ada hal nyeleneh yang dianggap tidak adil. Misalnya, ada satu mata seni budaya dalam agenda PKB, yang perlu dipentaskan setiap kabupaten.
Tetapi, kurator tidak melihat potensi itu tidak ada di kabupaten lain. Sehingga terkesan terpaksa ikut. Itu yang membuat kelimpungan kontingen di kabupaten lain.
“Contohnya, tahun lalu ada lomba Bapang Barong, lengkap dengan pemeran lainnya. Kabupaten lain kan belum tentu, ada tokoh tokoh pemeran lain. Seperti penambak, bojog dan adegan lainnya. Kabupaten lain juga berusaha mencari agar sesuai dengan kriteria. Sekarang ini malah kembali, bapang barongnya saja, tanpa bojog tanpa penambak. Inilah contohnya, jadi tidak konsisten. Hal serupa juga terjadi pada mata seni budaya yang lain,” ujarnya.
Dia menambahkan, para kuratornya juga dari tahun ke tahun itu-itu saja. Sehingga, tidak ada lagi pengembangan-pengembangan lain yang semestinya bisa dijalankan, sesuai dengan perkembangan zaman.
Jadi seperti kehabisan akal. Saat rapat teknis, ketika ada pertanyaan dari seniman muda, juga kerap dijawab dengan kaku. Contohnya, sekarang yang sedang panas dalam jelang PKB adalah kasusnya petruk.
“Dia itu seorang legenda seniman Bali, kok bisa bisanya di banned, karena dianggap tidak sopan. Dia itu sudah 50 tahun berkarya, konsisten, jatuh bangun, dia masih bertahan sebagai pelawak tulen dalam konteks drama gong. Itu diakui di Bali. Bahasa-bahasa kasar itu kan identitas dia. Selama ini juga tidak ada penonton yang protes. Kata-kata kasar itu kan konteksnya pelawak. Sama halnya dengan dengan dialek asli Singaraja,” sorot pendiri Sanggar Kayonan Klungkung ini.
Ketimbang mempermasalahkan Petruk, sebagai seniman dia lebih terganggu dengan dengan perkembangan Joged Porno. Seberapa besar ini ditindak, oleh pengamat seni yang punya kuasa untuk mengendalikan itu. Bahkan, selama ini tidak ada berani menertibkannya, padahal itu jelas-jelas mencederai nilai seni dan budaya Bali.
“Namanya seni pentas, gaya lawakan itu identitas pelawak Petruk. Ini kan konteksnya drama, bukan lain. Dan ini sudah berjalan 50 tahun. Ini momentum, untuk mengevaluasi Tim Kurator. Saya sebagai pelaku seni, pengamat, melihat tidak ada yang salah dengan Petruk. Dia konsisten, dialah yang memberikan daya ungkit untuk pelestarian budaya Bali. Ini prestasi. Justru sebaliknya pemerintah seharusnya memberikan penghargaan khusus,” tegasnya.
Sebab, saat pasangan lawaknya, Dolar, telah meninggal, dia masih bertahan. Dia masih mau berpasangan dengan siapa saja, dengan karakter Petruk yang sangat melekat di tengah masyarakat Bali, sebagai seorang seniman sepanjang zaman. (Bagiarta/Balipost)