
DENPASAR, BALIPOST.com – Kejaksaan Agung kini tengah meningkatkan pengawasan terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS). Salah satu fokus adalah melakukan pengawasan perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan ini sangat relevan mengingat tata ruang DAS banyak dilanggar dan menjadi ancaman serius bagi Bali. Selan itu langkah penting untuk memastikan kelestarian lingkungan dan mencegah berbagai masalah terkait DAS, seperti banjir dan erosi. Pihak-pihak yang melanggar bisa dipidanakan.
Ketua Forum DAS Bali, Prof. Dr. I Made Sudarma, M.S., Selasa (3/6) mengatakan, panorama lanskap indah yang dimiliki oleh DAS di Bali saat ini menghadapi krisis ekologis dan sosial yang mendalam akibat pembangunan pariwisata yang semakin agresif dan tidak terkendali. Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan DAS Ayung, Unda, Sangsang, dan beberapa DAS lainnya yang mulai dilirik investor.
Hal ini tidak terlepas dari harga tanah yang tinggi di sektor pariwisata membuat lahan-lahan produktif dalam DAS (seperti sawah dan tegalan) lebih menguntungkan jika dijual atau disewakan untuk hotel, vila, atau restoran. Sehingga mendorong masyarakat pemilik lahan untuk mengalihfungsikan lahan.
Ia mengungkapkan kondisi ini terjadi karena pertumbuhan pariwisata yang terus berkembang dan tidak terkendali yang kalah cepat dengan rencana tata ruang serta mengecilkan arti dan fungsi ekologis DAS. Banyak pembangunan dilakukan di zona konservasi, sempadan sungai, atau lereng bukit, dengan panorama yang indah yang berfungsi menjaga fungsi hidrologis dikonversi menjadi bangunan penunjang pariwisata.
Sehingga, DAS dengan panorama yang indah menjadi “bahan baku” bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan daerah dengan menjadikan daerah tersebut sebagai fasilitas pariwisata.
Tidak dapat dipungkiri perubahan tata ruang terjadi akibat dari potensi dari DAS yang secara ekonomi lebih menguntungkan untuk dijadikan hotel, vila, restoran dengan mengabaikan fungsi ekologis DAS itu sendiri. Nilai-nilai ekologis DAS sering terpinggirkan oleh logika ekonomi jangka pendek.
Demikian juga pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sering terjadi karena lemahnya pengawasan dan adanya kompromi dengan kepentingan ekonomi. Perizinan pembangunan sering kali juga diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan analisis dampak konversi DAS.
Tidak adanya otoritas tunggal yang memiliki kewenangan penuh mengelola DAS secara holistik menjadikan tekanan yang semakin kuat dalam pemanfaatan DAS. Banyak pelaku pembangunan (masyarakat, investor dan pemerintah) belum memahami pentingnya menjaga integritas DAS untuk keberlanjutan air dan lingkungan. Pengelolaan DAS lebih bersifat sektoral, administratif dan tidak melibatkan lintas kabupaten/kota.
Menurut guru besar Universitas Udayana ini, konversi DAS di Bali menjadi kawasan pariwisata mencerminkan konflik antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan ekologis. Jika tidak dikelola dengan bijak, proses ini bisa mengganggu siklus hidrologi, memperparah banjir, kekeringan, dan krisis air bersih yang mulai terasa di berbagai kawasan Bali.
DAS Tukad Ayung dengan luas wilayah sekitar 109 km² dengan aliran Sungai Ayung sepanjang 68,5 km, hulu DAS ini terdiri dari hutan lindung di daerah pegunungan yang berada di wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Badung, serta di bagian tengah airnya dimanfaatkan oleh Kabupaten Badung dan Gianyar untuk irigasi wisata rafting. Sementara, di hilirnya dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk PDAM Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
“Wilayah DAS Ayung ini paling banyak dialihfungsikan untuk kepentingan pariwisata. Banyak hotel, vila dan restoran yang dibangun di dekat tebing Sungai Ayung,” ungkap Prof. Sudarma.
Dalam upaya menyelamatkan DAS sebagai ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai penyedia air, pangan, pengendali erosi, banjir, dan lainnya sudah waktunya Bali meninjau kembali perizinan pemanfaatan alih fungsi DAS menjadi peruntukan bangunan tertutup. Harus dimaknai DAS dengan sungai-sungai yang ada di sekitarnya sebagai ruang hidup untuk generasi mendatang dan bukan sekadar sebagai elemen lanskap untuk komoditas wisata.
Upaya Mendesak
Untuk itu, beberapa upaya mendesak yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan rencana tata ruang berbasis DAS, penegakan tegas terhadap pelanggaran tata ruang khususnya dalam pemanfaatan sempadan sungai dan pencemaran terhadap badan air sungai, transparansi perizinan untuk proyek-proyek di tapak DAS yang sensitif terhadap bencana ekologis, pemulihan ekosistem DAS melalui restorasi vegetasi riparian pada zona lindung DAS, dan juga pelibatan desa adat dan subak dalam pengelolaan DAS.
“Membiarkan DAS Bali tereksploitasi tanpa batas ibarat membiarkan nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal Bali terputus. Sungai bukan sekadar jalur air, namun DAS adalah sebagai penjaga air permukaan (sungai, danau, mata air,red) dan air tanah, sumber pangan, pelindung bencana dan penyambung kehidupan lintas generasi,” tandasnya.
Jika ingin Bali tetap hidup, Prof. Sudarma menegaskan bahwa menjaga DAS sebagai daerah tangkapan air hujan dan sungai-sungainya, mulai dari hulu hingga hilir, dari gunung hingga laut merupakan suatu keniscayaan yang tidak hanya berdasar pada logika ekonomi namun juga berbasis etika ekologis.
Strategi mitigasi yang bisa dilakukan dalam penyelamatan DAS di samping penataan tata ruang dan penegakan regulasi diperlukan ada mekanisme insentif ekonomi dan perlindungan lahan melalui penerapan pembayaran jasa lingkungan (PJL) untuk masyarakat atau petani yang mempertahankan fungsi ekosistem DAS. Edukasi dan peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian DAS berbasis komunitas, promosi wisata berbasis alam dan budaya yang tidak merusak ekosistem perlu dilakukan.
“Perlu disadari bahwa terjadinya konversi lahan di DAS adalah refleksi dari konflik antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis. Strategi mitigasi memerlukan pendekatan lintas sektor (pihak pemanfaat jasa lingkungan DAS), lintas wilayah (hulu, tengah dan hilir), dan lintas kabupaten/kota yang mengintegrasikan tata ruang, kelembagaan, dan partisipasi masyarakat. Melindungi DAS berarti melindungi masa depan air, budaya, dan keseimbangan ekologis Bali,” pesannya.
Pariwisata Bali Booming
Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Dr. Ir. I Nengah Sinarta, S.T., M.T., IPM., Asean.Eng., mengatakan sebelum pariwisata Bali booming, DAS di Bali masih terjaga dengan baik. Tetapi bermunculannya akomodasi pariwisata seperti hotel dan vila karena membutuhkan pemandangan alam yang masih natural (khususnya terjadi daerah hulu sungai), menyebabkan berkurangnya daerah resapan air dan area perlindungan sungai yang menjadi manfaat kawasan sempadan sungai. Hal ini memberikan peluang munculnya permasalahan lingkungan pada kawasan sempadan sungai, seperti bau, lingkungan kotor, limbah, sampah, banjir, dan tanah longsor.
Dikatakan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataang Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, bahwa pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari sistem proses penataan ruang yang mengamanatkan bahwa pada kawasan sempadan sungai, tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan ruang yang bersifat mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, kelestarian lingkungan hidup dan kegiatan yang merusak kualitas air sungai.
Demikian juga DAS tetap harus memenuhi prinsip keseimbangan haruslah 60 persen diperuntukkan untuk kawasan budidaya dan 40 persen untuk kawasan lindung. Pengaturan ini, mesti mengacu kepada terciptanya harmonitas atau keseimbangan hidup. Kawasan budi daya inilah seluruh fungsi ruang yang berhubungan dengan aktivitas seluruh aspek kehidupan manusia diberlakukan mulai dari wilayah permukiman, pertanian, perdagangan, pendidikan dan teknologi, perkantoran, pusat pemerintahan, pusat budaya dan peradaban, serta ruang-ruang interaksi sosial lainnya.
Di kawasan lindung, disebutkan seluruh fungsi ruang yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan memproduksi oksigen.
Sempadan sungai memiliki aturan untuk perlindungan kawasan sungai dan sekitarnya, sungai yang terdapat di kawasan sendiri dengan sempadan 5 – 10 meter berupa jalur hijau atau jalan inspeksi.
Menurut PP Nomor 38 Tahun 2001 Pasal 9, garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yaitu: (a) paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter; (b) paling sedikit berjarak 15 meter dari tepi kiri dan kanan paling sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalamam sungai lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter; (c) paling sedikit berjarak 30 meter dari tepi kiri dan kanan paling sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 meter.
Fenomena saat ini, dikatakan masyarakat hulu selalu dipersalahkan dan bertanggung jawab terhadap kerusakan DAS, tetapi arogansi investor untuk kepentingan akomodasi wisata memerlukan kondisi natural, mereka mengejar lereng atau jurang meskipun dengan risiko tinggi dan tempat seperti itu berada di hulu.
Kondisi ini kerap menimbulkan pelanggaran akibat kurang bahkan tidak ada kontrol dari dinas terkait. Pelanggaran ini jelas akan merusak rona lingkungan yang menyebabkan erosi, air bah atau longsor, namun mereka juga mendapat manfaat.
Terkait kondisi ekonomi dengan harga jual tanah yang ditinggi di hulu, perlu dilakukan edukasi secara intensif kepada masyarakat melalui desa adat untuk membuat awig-awig untuk tetap menjaga kesucian sumber air. Demikian juga pemerintah melalui Balai wilayah Sungai juga perlu secara intensif mengamati dan mengendalikan penggunaan DAS dengan menerapkan aturan-aturan yang berlaku, atau di-update setiap saat.
“DAS saat ini harus dapat dimanfaatkan masyarakat untuk tetap meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak fungsi DAS, seperti bagaimana masyarakat sebagai petani agar beralih untuk menerapkan pertanian menetap, dengan vegetasi jangka panjang,” ujar Prof. Sinarta.
Diungkapkan, DAS terbesar yang ada saat ini di Bali saat ini adalah DAS Ayung. Namun, keberadaan lahan DAS ini mulai kritis. Terutama di lahan hulu yang disebabkan karena berkurangnya lahan hijau akibat konversi area hijau dan terjadinya pelanggaran tata guna lahan untuk pembangunan dan wisata.
Demikian juga di Kabupaten Gianyar memiliki 6 sungai utama yang mengalir sepanjang tahun yaitu Tukad Ayung, Tukad Sangsang, Tukad Melangit, Tukad Oos, Tukad Petanu, dan Tukad Pakerisan. Sungai terpanjang di Kabupaten Gianyar yaitu Tukad Oos sepanjang 45.5 km, DAS ini juga terancam akibat pelanggaran akomodasi pariwisata dan juga hal-lainnya seperti permukiman dan pertanian. Kerusakan DAS lainnya seperti kejadian banjir bandang di Negara, yaitu di DAS Tukad Biluk dan Tukad Balian, jelas ini akibat dari pembangunan infrastruktur dan pertanian yang menyebabkan penggundulan vegetasi DAS yang tidak terkendali.
Faktor lainnya, yaitu ekstraksi air bawah tanah melampaui batas 70 % oleh karena ekstraksi individual. Kontaminasi air dan tanah yang diakibatkan oleh kontaminasi sampah dan meningkatkan intrusi air juga menjadi faktor penyebabnya. Semua ini terjadi dikarenakan kurangnya upaya pengendalian kerusakan lingkungan dan preservasi air yang terkoordinasi di DAS. (Ketut Winata/balipost)