Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Praktik perkawinan usia anak yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mendapatkan kecaman keras dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi.

“Pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas merupakan bentuk perkawinan usia anak, karena anak laki-laki berusia 17 tahun dan perempuan masih 15 tahun. Menikahkan anak berarti melanggar hak dasar anak, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan, dan tumbuh kembang yang layak,” kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (29/5).

Baca juga:  Kurir Tempel Narkoba Dituntut 13 Tahun dan Denda Rp 1 M

Ia menegaskan bahwa pernikahan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya.

Arifah Fauzi mengatakan, batas usia minimal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ia mengingatkan bahwa menikahkan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat berujung pada sanksi pidana maupun administratif.

Baca juga:  Presiden Prabowo Lantik Menteri dan Penjabat Kabinet Merah Putih

“Pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk dengan mencegah terjadinya perkawinan anak. Bahkan Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual -TPKS- dalam Pasal 4 secara tegas menyebutkan bahwa pemaksaan perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan seksual,” kata Menteri Arifatul Choiri Fauzi.

Lebih lanjut, Menteri PPPA menegaskan, perkawinan usia anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, melainkan persoalan sosial dan pembangunan nasional.

Baca juga:  Mahasabha XII PHDI Ditutup, Ini Pengurus PHDI Periode 2021-2026 Terpilih

Menurut dia, praktik ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah, meningkatnya prevalensi stunting, serta rendahnya rata-rata lama sekolah, terutama di daerah dengan praktik perkawinan anak yang tinggi.

“Mengurangi praktik perkawinan anak berarti melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Usia adalah indikator penting kesiapan untuk menikah, dan negara wajib memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka menjadi generasi sehat dan cerdas,” kata Arifah Fauzi. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN