
SINGARAJA, BALIPOST.com – Panas terik matahari ditambah riak-riak suara prajurit TNI terdengar dari sebuah perehaban rumah di Desa Depeha, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Di balik kerumunan itu, ada sosok perempuan polos yang membawa ember berisikan adonan semen. Perempuan itu melangkah menaiki satu persatu tangga rumah.
Namanya Ni Wayan Sariani (45), seorang ibu tiga anak yang bekerja sebagai kenek bangunan sejak puluhan tahun. Ia tak hanya bertugas membawa adonan semen semata, di sela-sela waktu perempuan asal Desa Seraya, Kecamatan Karangasem ini juga membuat adonan semen.
Di tangan mahirnya, Ia sudah hafal betul campuran semen dan pasir menghasilkan adonan semen yang berkualitas.
Ternyata pekerjaan ini sudah dilakoni sejak puluhan tahun lamanya. Hanya saja, tandem kali ini dalam bekerja yakni personel TNI dari Kodim 1609/ Buleleng.
Sariani dipinang oleh Ketut Buktiasa (47) Dusun Seganti, Desa Depeha sejak tahun 1999. Sejak menikah, keduanya pun sudah melakoni kehidupan yang rumit.
Kondisi ini pun mengharuskan Sariani harus bekerja keras menyambung hidup. Salah satunya bekerja sebagai kenek bangunan.
Sedangkan tukangnya sendiri, sang suami Ketut Buktiasa. Keduanya pun sudah melanglang buana ke berbagai desa, khususnya di Kecamatan Kubutambahan.
Tak hanya menggarap proyek bangunan rumah, senderan maupun betonisasi pun digarap asalkan menghasilkan upah.
Keduanya dikaruniai tiga anak laki-laki. Namun apa daya, sejak kelahiran anak pertamanya, Gede Suryada Yasa, kehidupannya tak membaik. Mereka pun harus tinggal di sebuah gubuk semi permanen yang masih kurang layak.
Berulang kali, Buktiasa mengajukan bedah rumah ke pemerintah, namun selalu gagal. Bahkan pihaknya pun sempat mengusulkan bantuan bedah rumah ke pihak ketiga atau yayasan.
Ditemui di kediamannya, Sariani pun perlahan menceritakan kehidupannya. Kelahiran anak kedua, Kadek Somayasa, ia menderita bengkak pada payudara sehingga tidak bisa menyusui.
Kondisi itu mengaharuskan Ketut Budiasa bekerja sendirian demi memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya. “Beli susu seminggu sudah habis.Suami bekerja sendiri. Saat-saat itulah kondisi paling di bawah keluarga kami,” jelas Sariani.
Berangsur Menbaik
Namun, sejak kelahiran anak ketiganya, Nyoman Sutcitra Yasa kehidupannya pun berangsur membaik. Secara perlahan, keduanya sedikit demi sedikit melakukan perbaikan rumah yang ditempatinya. Tepat anak ketiganya berumur lima tahun, bantuan Bedah rumah dari Program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-124 pun tiba.
“Sangat begitu senang. Ketika suami di undangan untuk mengikuti rapat di Desa. Bahwa akan mendapatkan bantuan bedah rumah,”imbuh Perempuan 45 tahun ini.
Hanya saja, bantuan dari program TMMD kali ini hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp20 juta. Itupun belum dipotong ongkos tukang.
Guna meminimalisir anggaran, Ia pun bersama suami sepakat untuk berkontribusi dalam menggarap rumahnya sendiri. “Bersyukur saat ini sudah dibantu oleh bapak-bapak TNI. Sehingga kami saat ini bisa mempunyai rumah yang layak untuk dihuni,” tambahnya.
Sejak resmi dibangun, keduanya pun begitu semangat. Sariani yang mahir sebagai kenek bangunan begitu cepat berinteraksi bersama personel TNI. Sangat terlihat, mereka pun sudah seperti keluarga dan tidak ada sekat antara masyarakat dengan prajurit TNI.
Peran lainnya juga ia lakukan selain sebagai kenek bangunan. Ia sudah terbiasa bangun lebih pagi, untuk menyediakan sarapan hingga kopi untuk personel TNI yang membantu menggarap rumahnya.
“Banyak anggota TNI yang membantu, kita selalu menyediakan konsumsi baik makan maupun sekedar kopi. Kita dibantu perehaban bedah rumah, kita harus berikan timbal balik,” katanya.
Perlahan rumahnya yang berukuran 3 x 6 meter pun sudah kokoh berdiri. Progresnya disebut sudah mencapai 88 persen. Tinggal melakukan rabat lantai hingga pemasangan pintu dan jendela.
“Ini awalnya hanya dua kamar sama. Dapurnya pisah. Karena sekarang kami berlima, jadi dijadikan menjadi tiga kamar,” katanya.
Menyambung Hidup
Bagi Sariani, pekerjaan sebagai kenek bangunan itu merupakan hal yang wajar dilakukan oleh perempuan saat ini, meski jauh dari kata glamor, asalkan pekerjaan itu menghasilkan uang untuk menyambung hidup. Ia pun mengaku tak gengsi menggeluti pekerjaan itu demi keluarganya.
“Terkadang saat tidak bekerja, juga nyambi sebagai tukang petik mangga bersama suami. Asalkan harian masuk. Paling sehari dapat Rp90 ribu sendiri,”pungkasnya.
Perbekel Desa Depeha, Gede Srinyarnya pun tak heran dengan pekerjaan yang dilakoni Wayan Sariani. Pasalnya hampir 20 persen penduduk perempuan di desanya melakukan hal serupa.
Ada yang sebagai kenek bangunan, ada yang bekerja keluar negeri, ada juga sebagai buruh petik mangga. Hal ini dilakukan demi mendukung kepala keluarga di tengah himpitan ekonomi saat ini.
“Di desa kami banyak yang seperti itu. Bahkan ada yang punya gudang mangga, mereka dari pagi hingga malam bekerja. Pokoknya disini laki perempuan sama. Emansipasi Wanita terlihat di sini. Tidak ada sekat,” jelas Srinyarnya.
Mendukung upaya itu, Pemerintah Desa Depeha pun menggalakkan sejumlah program latihan, khususnya bagi perempuan. Kolaborasi pun dijalin baik dengan Lembaga Pendidikan maupun pihak swasta bagaimana pemberdayaan perempuan di desanya bisa tercapai.
“Ada pelatihan membuat olahan mangga, ada pula pelatihan kecantikan. Itu pernah kita lakukan agar perempuan disini tidak menganggur,” imbuhnya.
Ia juga menyebut, dalam menyukseskan program TMMD ke-124 kali ini, kontribusi perempuan sangat dirasakan pihak desa. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap hari lebih dari 25 perempuan berkontribusi. “Ada yang menyiapkan makanan, ada pula yang membantu membawakan adonan semen saat pengerjaan proyek berlangung,” tandasnya. (Nyoman Yudha/balipost)