Umat hendak bersembahyang di Pura Jagatnatha saat Galungan pada 21 September 2020. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam budaya Bali, pernikahan bukan sekadar ikatan dua insan, melainkan upacara sakral yang harus selaras dengan tatanan alam dan spiritual.

Salah satu tradisi yang dijunjung tinggi adalah larangan menikah sebelum Pegatwakan, yang berkaitan erat dengan perhitungan weweton dan dewasa ayu.

Berikut lima hal yang menjelaskan makna dan peran tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Bali:

1. Pegatwakan: Penanda Berakhirnya Rangkaian Galungan-Kuningan

Pegatwakan, yang jatuh pada Buda Kliwon Pahang, menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan. Hari ini dipercaya sebagai saat para leluhur kembali ke alam niskala, sehingga sebelum Pegatwakan, dunia masih berada dalam suasana sakral.

Baca juga:  Bangkit, Wagub Cok Ace Dorong Asosiasi MICE Bersatu

Oleh karena itu, pelaksanaan upacara besar seperti pernikahan sebaiknya ditunda hingga Pegatwakan berlalu.

2. Weweton: Sistem Penanggalan Tradisional Bali

Weweton adalah sistem penanggalan tradisional Bali yang memadukan hari pasaran (wuku) dan hari pancawara–saptawara. Sistem ini digunakan untuk menentukan hari baik (dewasa ayu) dan hari buruk (dewasa ala) untuk melaksanakan berbagai upacara, termasuk pernikahan.

Dengan mengikuti weweton, masyarakat Bali berusaha menjaga keharmonisan antara kehidupan sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia spiritual).

Baca juga:  Tradisi Mesuryak di Desa Bongan, Digelar Tiap Kuningan

3. Dewasa Ayu: Menentukan Hari Baik untuk Pernikahan

Dewasa ayu adalah hari yang dianggap baik dan penuh berkah untuk melaksanakan upacara, termasuk pernikahan.

Penentuan dewasa ayu didasarkan pada perhitungan kalender Bali, termasuk wuku, sasih, penanggal, dan panglong.

Memilih hari yang tepat diyakini dapat mendukung kelancaran dan keharmonisan dalam kehidupan pernikahan.

4. Larangan Menikah Sebelum Pegatwakan

Dalam tradisi Bali, menikah sebelum Pegatwakan dianggap tidak etis secara spiritual. Hal ini karena periode antara Galungan dan Pegatwakan dianggap sebagai waktu yang sakral, di mana aktivitas upacara besar sebaiknya dihindari.

Baca juga:  Chattra Diusulkan Dipasang Kembali di Borubudur

Menikah pada periode ini diyakini dapat mengganggu keseimbangan antara sekala dan niskala, serta membawa pengaruh buruk bagi pasangan maupun keluarganya.

5. Pegatwakan Usai, Awal Musim Pernikahan di Bali

Setelah Pegatwakan berlalu, masyarakat Bali memasuki periode yang dianggap baik untuk melaksanakan upacara pernikahan. Banyak pasangan yang menunggu hingga Pegatwakan untuk melangsungkan pernikahan, karena diyakini bahwa waktu tersebut membawa berkah dan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. (Pande Paron/balipost)

BAGIKAN