
DENPASAR, BALIPOST.com – Desa Adat Blahkiuh di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, menyimpan tradisi yang memadukan unsur budaya dan spiritualitas dalam satu prosesi yang penuh makna.
Ngerebeg Matiti Suara adalah warisan budaya yang tak hanya merayakan kekayaan seni tari, musik, dan kostum, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam.
Tradisi ini menggambarkan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Blahkiuh senantiasa berhubungan dengan alam semesta, mengajak kita untuk memahami lebih jauh tentang hubungan manusia, alam, dan Tuhan.
Prosesi Ngerebeg, yang berakar dari masa Kerajaan Singasari, kini menjadi sarana untuk menanggulangi bala dan menjaga keseimbangan spiritual desa.
Berikut adalah tujuh fakta menarik yang mengungkap esensi dari tradisi Ngerebeg Matiti Suara:
1. Berakar dari Kerajaan Singasari
Tradisi Ngerebeg disebut-sebut berasal dari masa Kerajaan Singasari. Dahulu, prosesi ini mirip dengan parade atau barisan prajurit kerajaan yang berkeliling desa untuk menunjukkan kekuatan dan wibawa. Kini, masyarakat Blahkiuh melestarikannya sebagai bagian dari warisan budaya.
2. Ngerebeg Bertujuan Menolak Bala
Ngerebeg dilakukan untuk menetralisir kekuatan negatif dan tolak bala di lingkungan desa. Warga membawa berbagai simbol sakral saat berkeliling desa sebagai bentuk perlindungan spiritual.
3. Dipadukan dengan Prosesi Matiti Suara
Matiti Suara adalah bagian dari tradisi yang menekankan pada pembacaan suara atau lontar suci sebagai bentuk peringatan akan keberadaan Pura Luhur Giri Kusuma. Tradisi ini menjadi pengingat spiritual bagi warga.
4. Dilaksanakan Saat Hari Tumpek Kuningan
Tradisi ini biasanya digelar bertepatan dengan hari suci Tumpek Kuningan, salah satu hari penting dalam kalender keagamaan umat Hindu Bali.
5. Diiringi Tabuhan Gamelan, Tarian Sakral, dan Simbol Senjata Bertuah
Prosesi Ngerebeg diiringi oleh tabuhan gamelan Balaganjur, menciptakan suasana heroik dan spiritual. Tarian-tarian sakral seperti tari Baris, yang dibawakan oleh pria bertombak, serta tari Rejang Renteng dan Rejang Sari yang dibawakan oleh wanita, memperkaya prosesi ini.
Tombak yang dibawa oleh penari Baris bukan hanya properti tari, melainkan senjata sakral yang telah dipasupati di Pura Luhur Giri Kusuma. Di ujung tombak, sering terdapat simbol-simbol arah mata angin yang merepresentasikan konsep nawa sanga, yakni penjuru spiritual dalam agama Hindu Bali. Hal ini dimaksudkan untuk menghadirkan kekuatan pelindung dari semua arah serta menolak bala.
6. Diikuti oleh Warga dari Berbagai Kalangan
Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semua ikut berpartisipasi. Mereka mengenakan pakaian adat dan membawa perlengkapan upacara contohnya bambu runcing yang sudah dihias saat prosesi berlangsung.
7. Menarik Perhatian Wisatawan dan Peneliti Budaya
Karena keunikannya, tradisi ini sering menjadi perhatian wisatawan dan peneliti budaya. Banyak yang tertarik mempelajari nilai-nilai luhur di balik setiap prosesi. (Pande Paron/balipost)