Siswa sedang mengetik aksara Bali. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di era teknologi saat ini, minat generasi muda Bali terhadap bahasa daerah sebagai upaya pelestarian budaya menurun. Hanya beberapa persen anak muda Bali yang masih fasih berbahasa Bali Alus. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Generasi penutur dan penyuluh Bahasa Bali mesti diselamatkan untuk pelestarian bahasa Bali ke depan. Untuk itu, pemerintah harus hadir untuk menjaga eksistensi regenerasi penutur maupun penyuluh Bahasa Bali.

Budayawan yang juga Rektor Uiversitas PGRI  Mahadewa ( PUMI) Bali, Prof. Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum., Selasa (15/10) mengungkapkan, Bahasa Bali adalah bagian dari budaya Bali. Lontar-lontar, adat-istiadat di Bali ditulis menggunakan Bahasa Bali.  Berkat kearifan lokal inilah yang membuat Bali dikenal dan disebut Pulau Dewata.

Bagi penari arja muani ini, berkat adat istiadat dan budaya inilah Bali dikenal di dunia. Jadi, bahasa  Bali merupakan bagian dari warisan budaya yang adiluhung, wajib hukumnya untuk dilestarikan.

Caranya adalah pendukung budaya Bali yakni manusia Balinya harus tetap eksis di Bali dan kuat akar budayanya. UPMI Bali yang membuka Prodi Bahasa Bali terus mengemban amanah mantan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra akan terus mengembangkan program bahasa daerah. ‘’Sekalipun mahasiswanya kian menyusut, tetap kami buka. Bahkan mereka diberikan bebas biaya kuliah sampai tamat. Nah, calon pemimpin Bali harus peduli soal yang ini,’’ ujarnya.

Baca juga:  Langgar PPKM Darurat, Tiga WNA Dideportasi dan Satu Paspor Ditahan Karena Tolak Karantina COVID-19

Akademisi Sastra Bali di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (FIB Unud), Dr. Drs. I Wayan Suardiana, M.Hum., mengatakan bahwa dalam upaya pelestarian Bahasa dan Sastra Bali Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali.

Menurut Koprodi S2 Kajian Budaya FIB Unud ini, Bulan Bahasa Bali merupakan puncak dari pembinaan Bahasa Bali yang dilakukan oleh tenaga penyuluh Bahasa Bali. Berhasil atau tidaknya penyuluh Bahasa Bali melakukan tugasnya di masyarakat, salah satunya dapat diukur dari kualitas lomba-lomba yang dilakukan saat Bulan Bahasa Bali. Baginya, Bulan Bahasa Bali merupakan tonggak generasi muda Bali dalam menumbuhkembangkan minat dan kecintaan terhadap Bahasa Bali. Tanpa ada kegiatan khusus yang holistik (eksebisi, lomba, pagelaran) dalam Bahasa Bali seperti ini sulit membina generasi muda untuk mengapresiasikan bakat mereka dalam mencintai bahasa ibunya.

Terlepas dari hal itu, upaya pelestarian bahasa Bali ke depan mesti dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari penuturnya dengan cara penguatan aksara Bali di sekolah-sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, juga di luar pendidikan formal seperti pasraman. Membaca teks-teks berbahasa Bali dan Bahasa Jawa Kuna secara masif melalui media pendididikan formal dan non formal.

Baca juga:  Varian Baru Virus Sars-Cov2 Diharapkan Tak Perparah Penanganan Covid-19

Mengupayakan rekayasa teks yang diunggah pada flatfom digital oleh lembaga pemerintah yang berkompeten. Sering melaksanakan lomba pembacaan dan pemahaman literasi yang bersumber dalam Aksara Bali dengan Bahasa Bali dan Bahasa Jawa Kuna. Begitu juga oleh musisi dan pencipta lagu daerah, sebelum merilis albumnya ke pasaran agar mengkonsultasikan kepada ahli Bahasa Bali.

Untuk itu, peran pemerintah sangatlah penting untuk selalu mengupayakan bahan ajar yang bermutu sesuai dengan perkembangan zaman. Memberikan reward kepada penutur yang mampu mempertahankan Bahasa Bali secara membumi lewat lomba-lomba.

Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, I Wayan Suarmaja, S.Pd.B., mengakui bahwa peran pemerintah daerah dalam menjaga bahasa daerah sudah cukup baik, melalui regulasi yang dikeluarkan. Namun, saat ini fenomena yang terjadi adalah banyak generasi muda yang gengsi menggunakan bahasa Bali sebagai bahasanya sehari-hari.

Terlepas daripada itu, para orang tua juga sudah sedikit memilih bahasa Bali sebagai bahasa ibu (bahasa yang perkenalkan pertama kali) untuk anak-anaknya. Hal ini sebagai salah satu faktor semakin menurunnya penguasaan bahasa Bali pada generasi muda. Kondisi ini pun mengkhawatirkan. Sebab, bahasa akan tetap hidup dan berkembang jika digunakan oleh penuturnya.

Baca juga:  Di Badung, 20.145 Ekor HPR Belum Tervaksin

Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian bahasa daerah khususnya bahasa Bali tidak hanya tugas pemerintah, tetapi masyarakat selaku penutur juga memiliki peran utama dalam menggunakan bahasa tersebut. Pihaknya mengajak masyarakat Bali terutama para orang tua agar menggunakan dan mengajarkan kembali bahasa Bali sebagai bahasa ibu kepada anak-anaknya.

Pemerintah juga diharapkan harus konsisten dalam memberikan ruang untuk kelestarian bahasa, aksara dan sastra Bali melalui kegiatan-kegiatan kebahasaan. Baik berupa lomba-lomba, diskusi, pelatihan, dan yang lainnya. Semakin sering bahasa, aksara dan sastra Bali didengar masyarakat akan ada dampak ketertarikan untuk ikut dalam usaha pelestarian tersebut.

“Kepada generasi muda ayo gunakan bahasa Bali sebagai bahasa pergaulan dan percakapan sehari-hari. Pelajari bahasa asing untuk pengembangan diri lebih luas, lestarikan bahasa Bali sebagai bahasa ibu dan identitas menjadi orang Bali. Eda lek mabasa Bali (jangan malu berbahasa Bali,red),” tandasnya.

Diungkapkan, terbentuk sejak tahun 2016 saat ini jumlah Penyuluh Bahasa Bali yang tersebar di seluruh desa/kelurahan se-Bali sebanyak 632 orang. Untuk itu, bagi masyarakat yang berkeinginan untuk diskusi tentang bahasa, aksara dan sastra Bali dipersilakan menghubungi Penyuluh Bahasa Bali yang ada di masing-masing desa/kelurahan. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN