PHRI gelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV Tahun 2024 di Kota Batam, Kepulauan Riau. (BP/Ant)

BATAM, BALIPOST.com – Dampak online travel agent (OTA) atau agen perjalanan wisata daring asing terhadap pertumbuhan pariwisata Indonesia dibahas dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV Tahun 2024 di Kota Batam, Kepulauan Riau.

Ketua PHRI Haryadi Sukamdani di Batam, Kamis, mengatakan Rakernas akan mencarikan solusi dan menjawab kekhawatiran atas kehadiran OTA asing yang melakukan “bakar uang” (burn rate), namun justru memberikan dampak minim untuk sektor pariwisata dalam negeri.

Baca juga:  Tempuh 1.574 Kilometer, Ketangguhan Terios Taklukkan Medan Terjal Terbukti

Ia menjelaskan saat ini OTA asing tidak mengikuti aturan perpajakan di Indonesia. “Menurut kami, mereka tidak mengikuti aturan perpajakan di Indonesia. Contohnya perbedaan OTA asing dan lokal. Kalau lokal itu perhitungan pajak PPh sudah langsung dilakukan sinkronisasi, atas pembayaran komisi OTA sudah dimasukkan pajaknya,” ujar Haryadi, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (22/2).

Menurutnya, hal tersebut perlu dicermati dari regulasi, dengan tujuan untuk melindungi OTA lokal dan konsumen.

Baca juga:  2018, Pertumbuhan Kredit Perbankan Nasional Terbaik Sejak 4 Tahun Terakhir

“Pada prinsipnya OTA itu dari satu sisi membantu, karena membuat lebih efisien. Tapi ada yang menjadi kendala, ada 2 hal, satu terkait dengan komisi yang relatif tinggi itu jadi beban, kedua adalah OTA asing yang tidak membayar pajak, artinya itu dibebankan ke kita (hotel),” kata dia.

Untuk diketahui, peningkatan penetrasi pasar OTA diproyeksikan mencapai 45 persen di Indonesia dan akan menyentuh angka Rp12 miliar total pasar pariwisata pada tahun 2025.

Baca juga:  Terbanyak di ASEAN, Ribuan Perusahaan Indonesia Sudah Terdaftar di China

Namun, jarak antara peningkatan valuasi OTA dengan pemasukan hotel di tanah air diperkirakan menghambat target tersebut. “Kita harus menalangi pajak dari OTA asing, itu jadi bom waktu yang harusnya mereka bayar pajak tapi akhirnya tidak bayar, itu karena mereka tidak memiliki badan usaha tetap di Indonesia,” kata Haryadi. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *