Nyoman Sukamara. (BP/Istimewa)

Oleh Nyoman Sukamara

Melalui UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah akan menuntaskan permasalahan tenaga honorer, yang cukup lama membebani Birokrasi Indonesia. UU ini menargetkan penuntasan penataan tenaga honorer yang mencakup verifikasi, validasi dan pengangkatan oleh lembaga berwenang pada akhir tahun 2024.

Berdasarkan data yang disampaikan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), tenaga honorer berjumlah 2.3 juta, lebih dari setengah jumlah PNS sebesar 3,79 juta pada akhir tahun 2023, seperti dilaporkan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Bila sesuai rencana, seluruhnya akan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), mereka adalah penggerak birokrasi ke depan. Karenanya, kualitas mereka adalah taruhan kualitas birokrasi.

Kualitas Pegawai ASN ditentukan oleh siapa Pegawai ASN, yang dipengaruhi oleh cara rekrutmennya dan bagaimana kualitas Pengawai ASN itu dikembangkan. Kesemuanya tergantung pada bagaimana implementasi setiap tahap manajemen Pegawai ASN. Manajemen Pegawai ASN (PNS dan PPPK) sebagaimana UU No. 20 Tahun 2023 mencakup: (i) perencanaan kebutuhan, (ii) pengadaan, (iii) penguatan budaya kerja dan citra institusi, (iv) pengelolaan kinerja, (v) pengembangan talenta dan karier, (vi) pengembangan kompetensi, (vii) pemberian penghargaan dan pengakuan, dan (viii) pemberhentian.

Baca juga:  Tak Masuk Formasi PPPK, Puluhan Sopir Tuntut Keadilan

Setiap tahapan sangat strategis dalam upaya membangun kualitas Pegawai ASN. Sayangnya, pengalaman menunjukkan implementasi manajemen ASN dihadapkan pada berbagai hambatan, mulai dari kelemahan-kelemahan (interinsik) birokrasi, praktik-praktik KKN dan intervensi politik.

Kelemahan interinsik birokasi menjadikan perencanaan kebutuhan pegawai ASN, yang tidak saja mencakup jumlah tetapi sekaligus mencakup kualifikasi (kompetensi yang dibutuhkan) pada berbagai level pemerintahan untuk negara sekompleks Indonesia, sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Berikutnya adalah permasalahan pada saat pengadaan baik Pegawai ASN baru maupun dalam pengisian jabatan-jabatan manajerial.

Keberadaan jutaaan pegawai honorer di pemerintahan yang menjadi beban saat ini adalah akibat penyimpangan terhadap prosedur perencanaan kebutuhan dan pengadaan Pegawai ASN. Sementara kasus-kasus OTT jual-beli jabatan dan intervensi politik dalam pengisian jabatan instansional di beberapa pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat yang masih menjadi berita di berbagai media hari-hari ini adalah bentuk penyimpangan bahkan pelanggaran prosedur pengadaan pejabat manajerial. Ke depan hambatan-hambatan yang sama sepertinya masih akan ada di setiap tahapan.

Hal yang cukup strategis dalam pengelolaan kinerja PPPK adalah status Hubungan Perjanjian Kerja yang berjangka waktu yang dapat diperpanjang, yang berbeda dengan kontrak sampai dengan batas usia pensiun bagi PNS. Sambil menunggu PP yang baru, posisi strategis Perjanjian Kerja Berjangka digambarkan PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Pasal 35 ayat (1) PP tersebut menegaskan, bahwa penilaian kinerja PPPK bertujuan menjamin objektivitas prestasi kerja yang sudah disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara PPK dengan pegawai yang bersangkutan.

Baca juga:  Presiden Joko Widodo Minta Menpan RB Carikan Solusi Untuk PPPK

Berikutnya, ayat (8) menyatakan bahwa hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk menjamin objektivitas perpanjangan perjanjian kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan kompetensi. Selanjutnya, ayat (9) pasal yang sama menegaskan bahwa PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK, tidak mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerja diberhentikan dari PPPK.

Sedangkan Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa perpanjangan Hubungan Pejanjian Kerja didasarkan pada pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan PPK. Pasal-pasal tersebut menegaskan posisi strategis kinerja sebagai dasar perpanjangan atau pemutusan hubungan kerja, dan karenanya adalah faktor motivasi bagi PPPK dalam peningkatan kinerja.

Baca juga:  Jangan Lengah, Perbaikannya Susah

Sebaliknya, Perjanjian Kerja berjangka bisa menjadi faktor demotivasi apabila PPPK menganggap bahwa mereka bekerja untuk sementara/tidak permanen apapun alasannya, bahkan merasa tidak terbebani tanggung jawab jangka panjang. Keberhasilan pemanfaatan peluang strategis ini, karenanya, akan sangat tergantung pada konsistensi dan akuntabilitas implementasi manajemen ASN, terutama dalam eksekusi reward dan punishment.

Dua tahapan pertama manajemen ASN ini sangat penting untuk mengadakan Pegawai ASN yang memenuhi syarat kualifikasi, sementara enam tahapan lain sangat strategis dalam mengembangkan kualitas ASN. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 20 Tahun 2023, saat ini Pemerintah sedang menyusun ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan, termasuk yang berkaitan dengan manajemen Pegawai ASN. PPPK dan publik menunggu kehadiran ketentuan-ketentuan teknis yang baik dan pejabat-pejabat pengelola kepegawaian di level mana pun yang mampu mengatasi hambatan-hambatan sebagaimana diuraikan tersebut sehingga mampu mengimplementasikan tahapan-tahapan manajemen ASN secara konsisten dan akuntabel. Selamat datang PPPK, penggerak birokrasi untuk menghadirkan pelayanan publik yang semakin efisien dan produktif.

Penulis, widyaiswara pada BKPSDM Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *