Umar Ibnu Alkhatab. (BP/Istimewa)

Oleh Umar Ibnu Alkhatab

Dalam sejarah politik nasional, kita mengenal adanya dwitunggal yakni Soekarno-Hatta. Keduanya Bapak Pendiri Bangsa yang melakukan groundbreaking Bangsa Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Keduanya merupakan sahabat lama yang dipertemukan oleh semangat yang sama, kendati berbeda cara, untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan Belanda. Sahabat lama ini dikenal sebagai pribadi-pribadi yang memiliki karakter yang kuat memegang prinsip, namun hangat dalam pertemanan.

Soekarno dikenal sebagai sosok yang flamboyan, humoris dan berapi-api, terutama saat berpidato di depan khalayak massa yang memadati lapangan, bicaranya lantang dan menghipnotis. Sementara Muhammad Hatta terkenal sebagai pribadi yang tidak banyak bicara, berpendirian teguh, rendah hati, dan gaya
bicaranya datar, tenang, dan sangat sistematis.

Intinya, Soekarno adalah seorang agitator dan solidarity maker, sementara Hatta adalah sosok yang kalem, pemikir yang serius, dan administrator. Keduanya merupakan dwitunggal yang harmonis dan sinergis.

Dwitunggal lainnya yang tak kalah inspiratif adalah kepemimpinan duet Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Paku Alam VIII, dua sosok ningrat Yogyakarta yang memimpin Yogyakarta pada masa awal sebagai sebuah provinsi. Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan raja kesembilan Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta (1945-1988).

Baca juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia

Sementara itu, KGPAA Paku Alam VIII merupakan Adipati Kadipaten Pakualaman yang paling lama menjabat (1937-1998) sekaligus menjadi Wakil Gubernur dan yang terlama menjadi Pejabat Gubernur (1988-1998) setelah mangkatnya Sri Sultan.

Dalam sejarah politik dapat kita baca bahwa kedua raja yang memangku wilayah Yogyakarta itu memutuskan secara bersama-sama untuk mengirimkan telegram ke Jakarta sehari setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang berisikan ucapan selamat dan pengakuan atas diproklamirkannya Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Keputusan Sri Sultan IX dan Paku Alam VIII ini terbukti sangat penting karena ketika sekutu datang ke Indonesia pada bulan September telah membuat situasi politik dan keamanan di Jakarta tidak kondusif dan
cenderung kehilangan kendali atas pemerintahan yang ada, dan dalam situasi tak menentu itu Sri Sultan IX dan Paku Alam VIII menawarkan kepada Soekarno untuk memindahkan Ibu Kota Indonesia ke Jakarta.

Baca juga:  Diiringi Tangis dan Puisi, Pegawai Pemprov Bali Ucapkan Terima Kasih ke Koster-Cok Ace

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII kemudian mengirimkan sebuah surat pada 2 Januari 1946 yang berisikan permintaan bahwa apabila
pemerintah RI bersedia maka pemerintah bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali, dan akhirnya, dalam sidang kabinet tertutup, Soekarno bersama kawan-kawannya setuju pusat pemerintahan RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, dan direalisasikan pada tanggal 4 April 1946 demi menjamin ide dan wujud kemerdekaan Indonesia.

Dalam sejarah politik lokal Bali, tanpa bermaksud
menafikan yang lain, kita bisa melihat model kepemimpinan dwitunggal dalam diri duet Wayan Koster dan Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) yang memimpin Bali 2018-2023. Pak Koster dan Pak Cok Ace sukses berbagi peran di dalam menjalankan tugas-tugas Pemerintahan Provinsi Bali, dan terlihat sangat produktif di dalam menghasilkan kebijakan dan menonjol dalam mengkonkretkan program-program yang direncanakan.

Kedua pemimpin Bali ini tampil sangat menonjol di media dengan pikiran dan tindakan yang bisa dicermati oleh publik. Saat Pak Koster berjibaku dengan tugas-tugas internal, Pak Cok Ace mengemban tugas-tugas eksternal, bertemu dan berbicara dengan publik, negitu pula sebaliknya.

Baca juga:  Bencana dan Kepemimpinan Pro Ekologi

Dalam sebuah kesempatan, Pak Koster menyatakan bahwa dirinya dan Pak Cok Ace seperti Baladewa dan Krisna, kakak adik, kadang Pak Koster menjadi Baladewa, kadang pula menjadi Krisna, demikian pula sebaliknya.

Kita berharap dwitunggal ini kembali memimpin Bali pada periode kedua nanti agar menuntaskan semua program yang dulu direncanakan tetapi sedang dalam proses penyelesaiannya. Sebagai publik, kita sangat menginginkan duet pemimpin yang saling berbagi peran dan saling asah asih asuh serta saling mengisi dalam
berbagai peran yang diembannya. Dan sejauh ini kita bisa melihat Pak Koster dan Pak Cok Ace berhasil memperlihatkan kualitas pribadi masing-masing sebagai pemimpin sehingga tak mudah untuk saling menggunting dalam lipatan.

Inilah dwitunggal van Bali yang kelak akan menjadi
panutan sebagaimana dwitunggal Soekarno-Hatta
dan dwitunggal Sri Sultan IX dan Paku Alam VIII.
Wassalam.

Penulis, Analisis Kebijakan Publik

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *