I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Dari enam jenis Tumpek yang menjadi bagian aktivitas ritual umat Hindu, ritual Tumpek Krulut tampaknya memiliki tafsiran ambigu, lantaran satu sama lain maknanya beririsan, bahkan kemudian dalam praktiknya bisa jadi membuat hati miris. Lantaran pelaksanaan Tumpek Krulut lebih cenderung dan gandrung dimaknai sebagai hari kasih sayang.

Bahkan diidentikkan dengan hari Valentine (14 Februari) yang distigma sebagai event berbagi, tepatnya memadu kasih sayang, mengarah penyaluran hasrat biologis. Agar tidak terjadi distorsi, melalui Surat Edaran Nomor 04 Yahun 2022 tentang Tata Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru, Gubernur Bali mencanangkan Rahina Tumpek Krulut senagai Hari Tresna Asih atau Hari Kasih Sayang ala Bali, yang tidak dimaksudkan seperti praktik Valentine’s Day.

Merujuk teks Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, sejatinya rerainan Tumpek Krulut adalah hari “Otonan Sarwa Tetangguran” berkaitan dengan keindahan suara bunyi-bunyian yang berasal dari gamelan (gong). Rahina Tumpek Krulut adalah moment pemujaan dan penghormatan kepada Sang Hyang Iswara (Dewa
Kesenian) dengan cara melaksanakan penyucian instrumen gamelan sehingga lumrah disebut sebagai “Otonin Gong”.

Baca juga:  Dukungan Perguruan Tinggi ke Capres

Tujuannya, melalui suara keindahan tetabuhan gamelan/gong dengan berbagai jenisnya, umat menjadi terhibur, mendapatkan kesenangan, membuat hati
bersuka-cita, perasaan jadi riang gembira dan bahkan merasakan kebahagiaan (lahir batin). Melalui alunan merdu instrumen gamelan/gong yang ditabuh dengan penuh ketakson, membuat pendengar terbawa pada alam kalangwan – kedaut ngelangenin – hanyut dalam perasaan haru, kagum dan bahagia.

Menyinergikan kedua makna rahina Tumpek Krulut sebagaimana tersebut di atas, tampaknya menemukan titik sumbunya, baik secara teologis, filosofis, estetis maupun etis. Bahwa ritual Tumpek Krulut merupakan upaya mengharmonikan rasa “Cinta” dan “Keindahan”. Sehingga dalam praktiknya diharapkan dapat membangkitkan, kemudian menumbuh-mekarkan rasa cinta kasih, bukan dalam konteks pemenuhan hasrat
duniawi (biologis) tetapi lebih tertuju pada kesadaran untuk saling mencintai dan mengasihi (ngelilitang lulut) kepada sesama manusia.

Baca juga:  Bharada E sebagai "Justice Collaborator"

Ngelilitang lulut bermakna menjalin rasa tresna asih
yang tidak mengarah pada bentuk kamuflase aura cinta dan nuansa sayang melalui sensasi fantasi bertendensi hedoni dengan cara “ngelilitang batis” (-papat) beraroma seksualitas, sebagaimana acapkali ditengarai dilakukan para pengikut atau pemuja valentine’s day. Tetapi lebih mengarah pada aksi “ngilitang lima”, umat saling bergandengan tangan menjalin dan menunjukkan diri melalui aksi-aksi kepedulian kepada sesama manusia yang dalam keadaan tidak baik-baik saja atau
sedang mengalami ketidakberuntungan.

Implementasinya dapat dilakukan dengan mempersering atau memperbanyak kegiatan-kegiatan di bidang sosial kemanusiaan, antara lain membantu penghuni panti asuhan, panti werdha (jompo), memberdayakan orang berkebutuhan khusus, menyantuni masyarakat tidak mampu (miskin), membantu saudara-saudara yang sedang sakit, dll.

Lebih menyenangkan, mengharukan bahkan sekaligus membahagiakan lagi jika aktivitas peduli sosial kemanusiaan itu dilakukan dengan memadukan ekspresi rasa “Cinta” dan “Keindahan”. Misalnya, sembari memberikan bantuan (material/finansial) juga disertai kegiatan menghibur, seperti menyanyikan lagu-lagu (kenangan/nostalgia/favorit), dengan iringan berbagai genre musik, atau menyuguhkan alunan tetabuhan aneka gamelan/gong, bila perlu ditampilkan tari-tarian, Kalaupun tidak bisa live, cukup lewat setelan kaset/cd/audio/video saja, yang penting missi menghibur dengan rasa cinta kasih, cara indah dan penuh berkah tersampaikan.

Baca juga:  “Taksu”, Aset Tak Berwujud Bali

Dengan begitu, pelaksanaan ritual Tumpek Krulut tidak lagi ambigu, bikin ragu dan terkesan saru-gremeng. Tentu dengan cara memadupadankan titik sumbu filosofi pemaknaannya, yaitu menjadikannya sebagai momentum merefleksikan bukti cinta kasih dan rasa sayang dengan cara-cara yang sarat keindahan.

Taglinenya adalah: berbagi cinta dengan penuh keindahan, atau indahnya saling berbagi kasih. Pemahaman seperti ini yang kini sangat perlu disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya umat Hindu agar ritual suci nan sakral Tumpek Krulut dapat dilaksanakan dengan patut menurut ajaran, tidak lagi berselimut kabut yang membuat makna simbolik dan nilai luhurnya karut-marut tak beraturan.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN