Tradisi mapeed serangkaian Pujawali di Pura Dalem Khayangan Kedaton, Tabanan. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Desa adat Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan memiliki tradisi yang rutin digelar setiap pelaksanaan pujawali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton, atau tepatnya Anggara Kasih Medangsia. Yakni tradisi ngerebeg atau ritual berlari keliling pura sebanyak tiga kali dengan membawa bandrang, umbul-umbul, tombak, tedung, dan lelontek yang menambah keunikan tersendiri dari upacara rutin tiap enam bulan sekali ini. Bahkan, sebelum tradisi ini digelar, ikut menyedot perhatian wisatawan asing untuk datang ke DTW Alas Kedaton juga kegiatan Mapeed.

Tradisi Mapeed, sebagai perwujudan rasa syukur umat Hindu Bali kepada Yang Maha Kuasa ini dilakukan oleh ibu-ibu PKK dari 12 banjar di Desa Kukuh, Kecamatan Marga. Ketinggian gebogan pun kali ini disamakan atau hanya tiga tingkat saja. Kegiatan mapeed ini untuk mengawali upacara pujawali yang tengah digelar di Pura Kahyangan Kedaton.

Baca juga:  Desa Adat Sukawati Bangun Pasar Desa

Bendesa Adat Kukuh Marga, Gusti Ngurah Arta Wijaya mengatakan, tidak seperti pura lainnya, keunikan lain yang dapat ditemui di pura ini adalah upacara berlangsung tidak menggunakan sarana dupa selama persembahyangan.

Tidak menghidupkan dupa saat persembahyangan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton sudah dilaksanakan sejak pura ini ditemukan pada tahun 1775.

Ketika pertama kali ditemukan, lingkungan pura dalam kondisi sangat panas. Lalu sejak itulah larangan tidak menghidupkan dupa mulai diberlakukan.

“Tetapi kalau secara logika, Pura Dalem Kahyangan Kedaton ada di tengah hutan Alas Kedaton yang memiliki banyak habitat kera. Jadi kalau menghidupkan dupa, lalu tiba-tiba dibawa kera ke tengah hutan, tentunya ditakutkan akan terjadi kebakaran hutan,” papar Ngurah Arta.

Baca juga:  Puncak Perayaan HUT SMPN 3 Denpasar

Termasuk, ciri khas lainnya lagi yakni upacara atau pujawali harus selesai sebelum matahari terbenam, dan akan dilanjutkan dengan tradisi ngerebeg, atau berlarian dengan tombak, dengan tedung dan beberapa cabang-cabang pohon yang berdaun. Semua orang, baik dari anak-anak, remaja, dewasa maupun tua ikut bersorak dan berteriak dengan gembira mengikuti tradisi ngerebeg ini.

“Tradisi ini yang dinanti-nanti karena bermakna gereget atau suka cita. Sebab  seluruh rangkaian upacara pujawali berjalan aman dan lancar,” ucapnya.

Dan terkait pujawali harus selesai pada sandikala (pertemuan siang dan malam hari), lanjut Gusti Ngurah Arta, karena dipercaya sampai saat ini ada panangkilan secara niskala, di mana alam gaib seperti wong samar (mahkluk halus) akan bergiliran sembahyang setelah matahari terbenam.

“Artinya di sekala dari pagi sampai sandikala harus sudah selesai, jadi tidak boleh menunggu krama datang, asal sudah waktu tetap harus menjalankan Pujawali,” jelasnya.

Baca juga:  Desa Adat Suwat Kembali Gelar Festival Air

Keunikan lain yang bisa ditemukan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. Biasanya di setiap pura, utama mandalanya akan lebih tinggi dari bagian Mmdya. Tetapi di pura ini, utama mandalanya justru lebih rendah dari madya.

“Ini ada ceritanya. Dulu saat masih dalam kekuasaan Belanda, Lingga Yoni yang berada di bagian Utama Mandala Pura Dalem Kahyangan Kedaton berusaha dipidahkan untuk dibawa ke Belanda. Namun semakin digali, dasar Lingga Yoni semakin ke bawah sehingga lama kelamaan bagian Utama Mandala menjadi lebih rendah dari Madya. Karena Lingga Yoni tidak bisa dipindahkan, akhirnya Utama Mandala dibiarkan saja seperti sekarang kondisinya,” jelas Ngurah Arta. (Puspawati/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *