Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

John Dalberg-Acton (1834-1902) menjadi tokoh termashur berkat adagium terkenalnya yang selalu dikutip ketika bicara perihal relasi kekuasaan dan korupsi — power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Maksudnya, sifat kekuasaan selalu memiliki kecenderungan disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan. Dalil Lord Acton tampaknya tepat untuk menggambarkan penguasa yang ingin menyalahgunakan kekuasaannya.

Tidak hanya terkait uang, melainkan juga politik dan juga kebijakan. Max Weber (1864-1920) pun membenarkan, kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri.

Merujuk statemen World Bank dan UNDP, korupsi adalah “the abuse of public office for private gain”, bentuk penyalahgunaan wewenang yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan pribadi. Para ahli membedakan korupsi menjadi dua : petty corruption (korupsi kecil) disebut juga corruption by need, artinya korupsi yang dilakukan pegawai untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat pendapatan kurang memadai, dan grand corruption (korupsi besar), disebut juga corruption by greed, dilakukan oleh pejabat dalam tingkatan lebih tinggi yang umumnya sudah berkecukupan secara material atau bahkan berkelimpahan harta kekayaan. Kedua jenis korupsi tersebut sama-sama berbahaya, sebab membiarkan korupsi kecil bisa jadi akan membesar, terutama menyangkut kerugian yang ditimbulkan, apalagi jika berkaitan langsung dengan kepentingan hajat hidup orang banyak.

Baca juga:  Kasus Perdin, Winasa Dieksekusi di Rutan Negara

Mengherankan lagi, membuka kasus-kasus besar yang belakangan dipublis, justru tindak pidana korupsi terjadi di lingkungan institusi pengemban amanat rakyat, seperti instansi keuangan, yang belakangan merebak pemberitaannya. Selain itu terjadi juga di lembaga lain berlabel sosial-kemanusiaan, keagamaan dan pendidikan yang tentunya secara morality tidak dapat diterima nalar.

Tak terkecuali kasus korupsi tergolong besar yang diduga dilakukan pucuk pimpinan sebuah lembaga pendidikan tinggi plat merah di Bali. Tidak hanya mencoreng nama besar institusi tersebut, juga mendistorsi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pembentuk insan cerdas berkarakter luhur dan mulia tersebut yang diharapkan melahirkan generasi penerus kepemimpinan bangsa.

Baca juga:  Satu Kemunculan

Sejatinya tindak korupsi itu sama halnya dengan mencuri (asteya), karena mengambil sesuatu (barang, uang, dan sejenisnya) yang bukan hak miliknya sehingga menimbulkan kerugian pihak/orang lain bahkan negara. Ditilik dari segala nilai atau norma (susila, sosial, moral, hukum, adat dan agama) tak ada satupun membenarkan perbuatan korupsi. Pertanyaan sederhana tapi mengena, mengapa seseorang yang sudah berkedudukan (tinggi), berkecukupan/berkelimpahan (kaya harta), berpendidikan tinggi, dan beragama pula, masih juga terjangkit virus kleptomania, semacam gangguan kontrol impuls yang membuatnya tidak tertahankan untuk mencuri (korupsi)?

Tak kurang tokoh besar Mahatma Gandhi pun seakan mengamini : ”Saya hendak mengemukakan bahwa kita sedikit banyaknya adalah pencuri. Bila saya mengambil sesuatu yang tidak saya butuhkan untuk langsung digunakan, dan saya tetap menahannya, saya mencurinya dari orang lain”.

Senada ujaran Gandhi, dalam idiom budaya Bali yang tertuang dalam bentuk sesonggan mengilustrasikan bahwa tindakan mencuri/korupsi dapat digolongkan ke dalam perilaku “nyongkokin tain kebo”. Tertuju pada seseorang yang sebenarnya tidak melakukan apa-apa, setidaknya belum banyak berbuat apalagi berjasa besar, tetapi berhasrat mengakui, menginginkan atau bahkan mengambil dan kemudian menikmati hasilnya sendiri alias korupsi. Tipikal orang berkarakter nyongkokin tain kebo ini sepertinya tidak asing lagi terdapat di segala lini. Selain dalam lingkup pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan (banjar, desa, yayasan, dll), lembaga keuangan berbasis adat sekalipun seperti LPD juga tak lepas dari aroma korupsi hingga namanya sering diplesetkan menjadi “Lan Pisne Dum”.

Baca juga:  Di Depan Pagar Ekonomi Pandemi

Ternyata, ini sekadar mengingatkan, kita semua juga dapat disematkan label “nyongkkin tain kebo” jika selama ini hanya bisa menikmati berkah anugrah melimpah yang telah diberikan Tuhan, namun tidak pernah memberi atau menghaturkan persembahan sebagaimana kutipan Sloka Bhagawadgita, III. 12 menyatakan :”Ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi persembahan sebenamya adalah pencuri”. Nah loo.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *