I Gusti Agung Rai Suryawijaya. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pelaku pariwisata mendukung upaya Gubernur Bali melakukan penindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan Warga Negara Asing (WNA). Hal ini untuk menunjukkan sikap bagi warga negara asing yang ingin berkunjung ke Bali bahwa di Bali memiliki aturan terkait berwisata.

Munculnya respons dari WNA Italia yang sempat viral di sosial media tentang Bali dijual murah, menurut Ketua PHRI Badung, Agung Rai Suryawijaya, Senin (27/3), ada benarnya dan ada kurang pas. Bali dijual murah pada saat pandemi karena situasi dan kondisi karena harga ditentukan pasar, ditentukan supply and demand.

Jika momen puncak liburan dari Juli, Agustus, Natal dan Tahun Baru tentu tingkat kunjungan akan naik dan berpengaruh pada harga jual. “Tapi over all Bali itu wisata on any budget. Artinya di Bali ada yang USD 20, ada USD 200, ada juga USD 2.000 per malam tergantung mau dimana,” ujarnya.

Menurutnya memang antara hotel bintang dan non bintang supply-nya hampir sama. Dari total jumlah kamar hotel yang ada, setengah berbintang, setengah tidak berbintang. Sehingga yang hotel tidak berbintang banyak dikunjungi wisatawan, terlihat murah. Namun hotel dengan harga kamar Rp200 juta per malam juga ada.

Baca juga:  Warga Dusun Wanasari Sholat Id di Rumah

Dia menilai sikap dan langkah Gubernur Bali sudah tepat. Di antaranya, ada Perda Nomor 5 tahun 2020, tentang standar kepariwisataan budaya Bali dan ada Pergub 28 tahun 2020 tentang tata kelola kepariwisataan.

Ada Pergub 25 tahun 2018 tentang Perlindungan Kawasan Suci Pura, Simbol Agama dan Pratama. Aturan tersebut dibuat tujuannya di samping membangun ekosistem kepariwisataan yang berkualitas, juga untuk pariwisata budaya Bali yang berkualitas dan bermartabat.

Namun penegakan regulasi tersebut perlu dilakukan bersama-sama yaitu bersama industri, stakeholder lainnya. Wisatawan yang datang saat ini menurutnya tidak lebih banyak wisatawan yang menginginkan wisata murah atau wisatawan tidak berkualitas. Tapi yang terjadi, wisatawan tersebut mudah viral di jaman kecanggihan teknologi saat mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran.

Baca juga:  Gubernur Koster Ingin BPD Bali Jadi Agen Pembangunan Ekonomi Bali

Sebelumnya juga terjadi pelanggaran WNA, namun pelanggaran kali ini mudah menjadi virus virtual (viral) sehingga perhatian dari masyarakat juga cukup besar terhadap kasus-kasus seperti ini. Sedangkan wisatawan high class juga banyak yang datang.

Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali, Yoga Iswara, Senin (27/3) mengatakan, pariwisata Bali memiliki segmen harga yang beragam mulai dari harga murah namun juga ada harga yang tinggi baik di hotel, restoran dan objek wisatanya. Karena pariwisata merupakan sektor ekonomi yang inklusif, seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat dari pariwisata sehingga tidak hanya dinikmati sekelompok orang.

Maka dari itu, Bali menurutnya bukan dijual murah. “Pariwisata tidak mengenal diskriminasi harga, semua memiliki segmennya, ada murah, mahal, menengah tapi pariwisata bisa memberi manfaat bagi semua kalangan. Itu goal dari tourism. Pariwisata yang dapat memberi kesejahteraan bagi masyarakat lokal,” tandasnya.

Sementara yang marak terjadi saat ini dan viral adalah wisman berulah. Wisman berulah kerap diasosiasikan dengan wisatawan murah. Menurut Yoga, secara makro memang ada kaitannya. Ketika Bali proses penyembuhan pascapandemi, ternyata dunia mengalami dinamika juga mulai dari resesi global, perang Rusia-Ukraina, adanya masalah krisis pangan, energi, supply terhambat dan banyak faktor yang membuat Bali sangat atraktif termasuk karena tekanan nilai tukar rupiah. Perbedaan nilai tukar ini yang membuat Bali tidak saja menarik untuk wisata tapi juga menarik untuk  bertahan hidup sementara.

Baca juga:  Divonis Kasus Rumbing, Kadisparbud Jembrana Non Aktif Langsung Banding

Faktor kedua, secara mikro tamu nakal atau bandel itu tidak serta merta bisa dihubungkan dengan wisatawan murah. Tapi infrastruktur dari regulasi di Bali, monitoring evaluasi, eksekusi ini yang perlu refleksi dan perbaikan bersama. “Jika banyak terjadi kompromi di bawah ini akan membawa dampak ke permukaan. Padahal sebenarnya bisa diperbaiki di hulu yaitu regulasi dan monitoringnya. Mari fokus dengan perbaikannya itu sehingga dampak bisa diminimalkan,” ujarnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN