Made Sumiarta. (BP/Ant)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Budidaya Tembakau Virginia sejak beberapa tahun sebelumnya menjadi salah satu komoditas andalan bagi sektor pertanian di Buleleng. Pada masa jayanya, budidaya ini dikenal sebagai usaha tani yang padat modal dan padat karya. Sayang, sejak tahun 2019 lalu, petani di daerah ini tak lagi menanam Tembakau Virginia. Bahkan, dengan penghentian ini, sekarang Buleleng kehilangan komoditas andalan tersebut.

Kepala Dinas Pertanian (Kadistan) Buleleng Made Sumiarta, Senin (27/3), tidak menampik kalau budidaya Tembakau Virginia di daerahnya telah punah.

Sumiarta menyebutkan, budidaya ini sebelumnya banyak digeluti oleh petani. Bahkan, karena pesatnya perkembangan, kemudian bermunculan kelompok petani tembakau hingga terbentuk organisasi yang dikenal bernama (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).

Baca juga:  Bikers Adventure Camp Ajang Aktif Berkomunitas Honda Bali

Tembakau Virginia ini sendiri dibudidayakan oleh petani sebagai tanaman sela setelah menanam padi. Biasanya, penanaman dilakukan menginjak musim kemarau. Sejak ditemukan hingga berkembang pesat, sistem budidaya ini dijalankan dengan kerjasama antara kelompok petani dengan perusahaan mitra kerja. Dengan kerjasama itu, petani menyiapkan lahan, kemudian benih, pupuk, obat-obatan ditanggung pihak perusahaan. Kemudian hasil panen tembakau dibeli oleh perusahaan mitra terkait.

“Dulu berkembang pesat dan ini menjadi tanaman sela setelah lahan sawah ditanami padi. Polanya kerjasama antara petani dengan perusahaan, dan selama pengembangannya cukup memberikan keuntungan bagi petani, namun budidaya ini juga perlu modal cukup dan ini ditutup dari kerjasama dengan perusahaan mitra itu sendiri,” katanya.

Baca juga:  15 Hektar Tembakau Terserang Virus Mosaik

Memasuki tahun 2019 silam tepatnya bersamaan dengan wabah pandemi Virus Corona (Covid-19), budidaya Tembakau Virginia di Bali Utara mulai terdampak. Semua perusahaan menghentikan kerjasamanya dengan kelompok petani. Karena petani tergantung dengan kerjasama dari perusahaan, sehingga penghentian kerjasama itu membuat petani tidak bisa berkutik dan mau tidak mau harus menghentikan menanam.

Sementara, kalau budidaya dilakukan dengan mandiri, petani sendiri tidak mampu melakukan hal itu. Pasalnya, sejak ditemukan budidaya ini perlu modal “segar” yang cukup dan banyak menyerap tenaga kerja. Sejak kerjasama distop, sekarang petani beralih tetap menanam padi walaupun itu menginjak pada musim kering. Beberapa kelompok subak saja yang menanam palawija seperti kacang-kacangan, sayur, dan menanam jagung sebagai penyela setelah menanam padi. “Dari dulu budidaya ini dikenal dengan padat modal dan padat karya, dan sejak kerjasama dihentikan, petani sendiri tidak memilih ikut berhenti menanam dan skema budidaya mandiri tidak memungkinkan dilakukan, sehingga memang budidaya ini sudah tak ada lagi,” jelasnya. (Mudiarta/Balipost)

Baca juga:  2 Hari Badung Alami Lonjakan, Tapi Kabupaten Ini Masih Catatkan Warga Terbanyak Terjangkit Transmisi Lokal COVID-19

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *